Joko Ismuhadi Soewarsono Meraih Gelar Doktor Dari Universitas Borobudur


Joko Ismuhadi berhasil meraih gelar doktor  hukum dari Universitas Borobudur yang dilaksanakan pada pukul 08.30 WIB di Aula Gedung D Lantai VIII di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur pada hari Selasa tanggal 13 Februari tahun 2024.

Jakarta-taxjusticenews.com: Joko Ismuhadi Bin Iskak Soewarsono berhasil meraih gelar doktor hukum dari Universitas Borobudur dalam sidang promosi terbuka, dengan mempertahankan disertasinya yang berjudul Penanganan Manipulasi Perpajakan oleh Korporasi pada Tindak Pidana Pajak dengan Perbuatan Pencucian Uang” di hadapan Dewan Penguji yang terdiri dari Prof. Dr. Ir. Rudi Bratamanggala, MM., selaku Wakil Rektor Universitas Borobudur sekaligus sebagai Ketua Dewan Penguji, Prof. Dr. Faisal Santiago, SH, MM selaku Direktur Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur sekaligus sebagai Anggota Penguji, Prof. Dr. Abdullah Sulaiman SH, MH, selaku Promotor sekaligus Anggota Penguji, Assoc. Prof. Dr. Ahmad Redi, SH, MH, MSi, selaku Co. Promotor sekaligus Anggota Penguji dan Assoc. Prof. Dr. KMS. Herman, SH, MH, MSi selaku Anggota Penguji serta Prof. Dr. Henny Nuraeny, SH, MH selaku Penguji dari Luar Institusi Universitas Borobudur (Universitas Djuanda Bogor), yang dilaksanakan pukul 08.30 WIB di Aula Gedung D Lantai VIII di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur pada hari Selasa tanggal 13 Februari tahun 2024.

Ditemui awak media Joko, begitu biasa dipanggil, mengatakan tentang pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang. “Saya bicara tentang tindak pidana perpajakan sekaligus tindak pidana pencucian uang, saya sebagai Promovendus mengusulkan agar penanganannya dilakukan penuntutan secara bersamaan karena itu sifatnya “delik berantai”, jadi tidak perlu menunggu tindak pidana pajak (Tipijak) nya itu bisa dibuktikan langsung saja digabungkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), bisa dilakukan secara bersamaan, secara simultan dibarengi dengan “freze” atau pembekuan dari aset-aset terdakwa,” katanya dengan ramah.

Yang lazim di Direktorat Jenderal Pajak sudah dilakukan, sambungnya, kalau memang kasusnya terbukti dan inkracht (Putusan telah Berkekuatan Hukum Tetap) dan secepatnya bisa dilakukan penyitaan aset-asetnya. Sehingga kerugian pendapatan negara secepatnya bisa di recovery, jadi asetnya tidak hilang, tidak menguap, secepatnya bisa dipulihkan kerugian negaranya, itu yang pertama. Yang kedua, saya mengusulkan kepada otoritas agar ketentuan Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP yang berisi frase “merugikan pendapatan negara” bisa dikaji ulang karena apapun yang dilakukan wajib pajak, baik alpa (culpa) atau disengaja (dolus) yang dapat merugikan pendapatan negara bisa ditafsirkan sebagai delik korupsi, delik tipikor. Berat ini pertanggung-jawabannya, bayangkan kita alpa tidak sengaja, dalam hal ini alpa misalnya tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sehingga dapat merugikan pendapatan negara, dapat dianggap korupsi. Pajak itu sejatinya masuk rumpun administrasi,” bebernya.

Jadi kalau tujuan negara, tambahnya, sudah tercapai tidak perlu masuk ranah pidana atau dikriminalisasi. Pidana sejatinya upaya terakhir yang disebut Ultimum Remedium, saya tidak setuju dengan hal itu, jangan sampai pembayar pajak atau tax payer dipidana, bayar saja pajaknya kalau ada kurang ya didenda kalau memang nyata-nyata itu bukan penghindaran tetapi penggelapan pajak terapkan saja dendanya 400%. Dalam Pasal 44C UU KUP itu secara tersurat menyatakan bahwa hukumannya dalam bentuk primer adalah denda, hukuman subsider adalah kurungan apabila ada pajak beserta dendanya kurang dibayar itu secara tersirat sesungguhnya ditujukan untuk perbuatan pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi,” urainya.

Jadi sejatinya tersirat bukan tersurat, seharusnya di penjelasan Padal 44C, UU KUP dijelaskan sambungnya, bahwa sejatinya pasal ini bisa diterapkan untuk tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi. Kenapa saya tertarik bahas tentang korporasi? Karena korporasi ini hanya file-file saja atau alat saja organ ini ada “by law” ada karena hukum. Kalau dari awal korporasi ini didirikan diniatkan untuk melakukan suatu kejahatan, bisa menjadi sangat jahat dibandingkan orang per orang yang melakukan kejahatan, karena dia tidak punya jiwa tidak punya perasaan. “Makanya ke depan saya minta, pidana korporasi ini bisa diterapkan di ketentuan perpajakan Indonesia. Di daerah Anglo Saxon sana, negara asalnya, dikenal sebagai Corporate Criminal Liability, tanggung jawab pidananya dibebankan kepada korporasi, memang hukuman-nya itu alternatif atau pilihan, kamu mau bayar (pajak) atau dipidana?,” imbuhnya.

“Pertanyaannya apabila korporasi tidak bisa dipidana, tapi tetap bisa, nanti dilakukan beban pidananya kepada orang-nya (Vicarious Liability), pemilik perusahaan, ada teori indentifikasi, identification theory, yaitu bahwa siapa sejatinya yang ambil peran, ambil keputusan dalam manajemen itu (intellectual dader), sehingga terjadinya tindak pidana perpajakan. Tindak pidana perpajakan ini, pasti tanpa sadar atau sadar, akan melangkah tindak pidana berikutnya yaitu TPPU, kenapa begitu? Karena TPPU itu tidak bisa berdiri sendiri harus ada pidana asalnya, begitu dia menggelapkan pajak, tanpa sadar dia menyimpan uangnya di bank itu sudah masuk tahap pertama fase “money laundering” yaitu penempatan (placement), setelah itu dimanfaatkan untuk investasi segala macam itu masuk siklus atau fase kedua yaitu layering atau soaping, mengaburkan asal-usul duitnya dari mana. Soaping membersihkan di sabun di cuci bersih uangnya, baru di proses berikutnya tanpa sadar masuk ke fase ketiga yaitu integrating,” tuturnya. Integrating, uang yang telah bersih kembali disimpan di sistem keuangan yang sah. Pertanyaan-nya kapan tindak pidana ini berhenti, karena ini terus berulang begitu fase ketiga kembali lagi ke fase satu, kapan berhenti?. Berhenti manakala aparat penegak hukum mampu mengendus ada tindak pidananya, mereka sudah mulai “aware” ada sesuatu kejahatan yang tidak boleh dilakukan.

“OJK adalah Financial Intelligence Unit (FIU)*), dia bukan eksekutor, dia hanya penyedia data saja, saya rasa OJK punya banyak datanya yang siap disampaikan kepada APH, Aparat Penegak Hukum, penyidik pajak, kepolisian atau kejaksaan dan seterusnya, sudah siap datanya. Ke depannya Government atau Pemerintah, otoritas memberikan sesuatu aturan yang lebih jelas bahwa secara eksplisit suatu tindak pidana bisa dilakukan oleh korporasi karena dalam perpajakan itu bunyinya “setiap orang” di maknai sebagai orang pribadi atau korporasi, itu sudah tegas tidak perlu ada keraguan lagi, selama ini kan ada keraguan, misalnya dalam keputusan, ya sebut saja kasus Asian Agri yang dikurung itu orangnya, manajemenya, yaitu Suwir Laut, yang dianggap orang yang bertanggung jawab,” imbuhnya. “Sedangkan dendanya dimintakan ke korporasi. Sejatinya ini yang perlu bertanggung jawab pidananya ini orang pribadi atau korporasi?.

Kedepan saya rasa pembayar pajak (tax payer) itu cukup bayar pajaknya kalau ada kurang, denda diterapkan, kalau memang nyata-nyata melakukan penghindaran atau bahkan penggelapan pajak, ya sudahlah kenakan saja dendanya 400%. Karena di pasal 44C itu secara tersurat hukumanya secara primer itu denda, hukuman subsider itu adalah kurungan bila ada pajak beserta dendanya kurang dibayar. Memang mengungkap atau mengendus kejahatan korporasi (White Collar Crime) ini sulit, karena dilakukan orang-oran terdidik, orang-orang pintar, namun jalan terjal harus dilalui demi satu tujuan, demi apa? demi Direktorat Jenderal Pajak membela 250 juta rakyat Indonesia karena memang uang pajak nanti buat bayar gaji tentara, bayar gaji polisi, bayar gaji guru, untuk subsidi minyak, semua itu dari situ, dari pajak. Kenapa pajak itu dihindari? Karena membayar pajak itu tidak enak, membayar pajak itu tidak nyaman maka dihindari maka dilawan karena tidak bisa dirasakan secara langsung. Saya mengharapkan ke depan terbentuk generasi sadar pajak, DNA-nya sebagai generasi millenial yang sadar akan pentingnya pajak,” pungkasnya. (Mgs/Am).

*) Ralat dari narasumber: Yang dimaksud bukan OJK, tetapi PPATK sebagai Financial Intellegent Unit (FIU)

Marshanda Gitasufi – Reporter

Amanda Valerina – Reporter

Berita Terkait

Top