Restorative Justice dalam Tindak Pidana Perpajakan: Analisis Pasal 44B UU KUP

Jakarta, taxjusticenews.com:
1. Pendahuluan: Keadilan Restoratif dan Hukum Pajak di Indonesia
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang berfokus pada pemulihan kerugian dan perbaikan hubungan yang terganggu akibat tindak pidana, alih-alih semata-mata pada penghukuman pelaku. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip-prinsip utama seperti pemulihan korban, akuntabilitas pelaku, dan keterlibatan masyarakat. Filosofi ini menandai pergeseran paradigma dari model retributif tradisional yang terutama menekankan pada pemberian sanksi kepada pelaku. Keadilan restoratif mengakui bahwa tindak pidana tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menyebabkan kerugian bagi korban dan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, penyelesaian yang berorientasi pada pemulihan menjadi esensi dari pendekatan ini.
Prinsip-prinsip keadilan restoratif memiliki relevansi yang signifikan dalam penanganan kejahatan finansial, khususnya tindak pidana perpajakan. Dalam konteks ini, negara dapat dianggap sebagai “korban” karena kehilangan potensi pendapatan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik. Kehilangan pendapatan negara akibat tindak pidana perpajakan secara tidak langsung merugikan seluruh masyarakat karena mengurangi kemampuan negara dalam menyediakan layanan publik yang esensial dan membiayai pembangunan. Oleh karena itu, penerapan keadilan restoratif dalam konteks ini berfokus pada upaya memulihkan kerugian finansial yang dialami oleh negara.
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis Pasal 44B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai manifestasi prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam kerangka hukum perpajakan Indonesia. Pasal ini secara substansial mencerminkan fokus pada pemulihan kerugian negara dan pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk memperbaiki kesalahan mereka, yang merupakan inti dari pendekatan restoratif dalam penanganan tindak pidana perpajakan.
2. Kerangka Hukum: Undang-Undang KUP dan Pasal 44B
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) merupakan landasan utama dalam mengatur sistem perpajakan di Indonesia. Undang-undang ini menetapkan aturan-aturan fundamental terkait administrasi perpajakan, termasuk kewajiban Wajib Pajak, prosedur pembayaran dan pelaporan pajak, serta mekanisme penegakan hukum di bidang perpajakan. Sejak pertama kali diundangkan, UU KUP telah mengalami beberapa kali perubahan melalui undang-undang amandemen, yang mencerminkan upaya berkelanjutan untuk memodernisasi sistem perpajakan dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum.
Pasal 44B tidak terdapat dalam naskah asli UU KUP tahun 1983. Ketentuan ini diperkenalkan melalui amandemen-amandemen berikutnya, yang menunjukkan adanya evolusi dalam pendekatan negara terhadap penanganan tindak pidana perpajakan. Salah satu amandemen kunci adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang membawa perubahan signifikan terhadap beberapa ketentuan dalam UU KUP, termasuk Pasal 44B. Penambahan dan perubahan pada pasal ini mengindikasikan adanya kesadaran yang berkembang mengenai keterbatasan pendekatan hukuman semata dan potensi manfaat dari mekanisme penyelesaian yang lebih fleksibel dan restoratif dalam kasus tindak pidana perpajakan.
Dalam kerangka hukum perpajakan yang terus berkembang ini, Pasal 44B memiliki signifikansi khusus karena secara eksplisit mengatur mengenai penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam kondisi tertentu. Keberadaan pasal ini menunjukkan adanya mekanisme yang memungkinkan penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan di luar proses peradilan pidana secara penuh, asalkan persyaratan yang ditentukan terpenuhi. Hal ini mengisyaratkan adanya pengakuan terhadap prinsip-prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium dalam penegakan hukum pajak di Indonesia.
3. Prinsip-Prinsip Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana (Rincian)
Keadilan restoratif didasarkan pada sejumlah prinsip fundamental yang membedakannya dari pendekatan keadilan retributif. Prinsip-prinsip ini menjadi landasan filosofis bagi mekanisme yang diatur dalam Pasal 44B UU KUP.
Salah satu prinsip utama adalah pemulihan korban/reparasi. Dalam konteks hukum pidana secara umum, ini berarti upaya untuk memperbaiki kerugian yang dialami korban akibat tindak pidana dan mengembalikan mereka ke keadaan semula. Dalam hukum pajak, “korban” utama adalah negara, yang mengalami kerugian finansial akibat tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, prinsip pemulihan dalam konteks ini terutama berfokus pada upaya memulihkan kerugian pendapatan negara.
Prinsip kedua adalah akuntabilitas pelaku. Keadilan restoratif menekankan perlunya pelaku untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan memahami dampak dari perilaku mereka. Ini seringkali melibatkan pengakuan kesalahan dan langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kerugian yang disebabkan. Dalam konteks Pasal 44B, persyaratan bagi Wajib Pajak atau tersangka untuk melunasi kerugian negara beserta sanksi administratif merupakan wujud dari prinsip akuntabilitas ini.
Prinsip ketiga adalah keterlibatan masyarakat. Keadilan restoratif mengakui peran masyarakat dalam proses penyelesaian tindak pidana, baik sebagai fasilitator maupun dalam mendukung reintegrasi pelaku. Dalam konteks hukum pajak, meskipun keterlibatan masyarakat secara langsung mungkin tidak terlihat, manfaat dari pulihnya pendapatan negara dirasakan oleh seluruh masyarakat melalui pendanaan layanan publik.
Prinsip-prinsip lain yang relevan meliputi perbaikan kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana, dialog dan mediasi antara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai penyelesaian yang saling menguntungkan, dan fokus pada pemulihan korban serta reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat.
Prinsip-prinsip ini sangat berbeda dengan tujuan utama keadilan retributif, yang menekankan pada pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan sebagai bentuk pembalasan atas perbuatan mereka. Keadilan retributif cenderung fokus pada pelanggaran hukum dan pemberian sanksi yang setimpal, tanpa selalu memprioritaskan kebutuhan korban atau perbaikan hubungan yang terganggu.
4. Prinsip Ultimum Remedium dalam Hukum Pajak Indonesia
Prinsip ultimum remedium (upaya terakhir) dalam konteks hukum pajak mengacu pada gagasan bahwa sanksi pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam penegakan hukum pajak, setelah semua upaya administratif untuk menyelesaikan masalah tersebut telah diupayakan dan terbukti tidak efektif. Prinsip ini didasarkan pada pemahaman bahwa tujuan utama hukum pajak adalah untuk mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai fungsi-fungsi pemerintahan dan pembangunan, bukan semata-mata untuk menghukum pelaku pelanggaran pajak.
Rasional di balik prinsip ini dalam konteks tindak pidana perpajakan adalah bahwa pemulihan kerugian negara melalui pembayaran pajak yang terutang beserta sanksi administratif seringkali lebih efektif dalam mencapai tujuan penerimaan negara dibandingkan dengan proses pidana yang panjang dan mahal. Selain itu, mengenakan sanksi pidana, seperti pidana penjara, dapat berdampak negatif pada produktivitas ekonomi dan dapat menghambat kemampuan Wajib Pajak untuk melunasi kewajiban perpajakannya di masa depan.
Pasal 44B UU KUP secara jelas sejalan dengan prinsip ultimum remedium karena menyediakan mekanisme untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan jika Wajib Pajak atau tersangka bersedia untuk sepenuhnya mengganti kerugian negara beserta sanksi administratif yang berlaku. Dengan memberikan kesempatan ini, undang-undang mengutamakan pemulihan keuangan negara sebagai prioritas utama dalam penanganan tindak pidana perpajakan, menjadikan proses pidana sebagai opsi terakhir jika upaya pemulihan melalui mekanisme ini tidak berhasil.
5. Analisis Mendalam Pasal 44B UU KUP (sebagaimana diubah oleh UU HPP)
Berikut adalah bunyi Pasal 44B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan :
“(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. (2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi: a. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; b. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau c. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, bukti penyetoran pajak, dan/atau bukti lain yang terkait dengan transaksi yang sebenarnya telah terjadi ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak tersebut. (2a) Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b, dan dalam hal pelunasan dilakukan setelah adanya tuntutan pidana, sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b ditambah dengan 100% (seratus persen). (2b) Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) telah melunasi seluruh kerugian pada pendapatan negara dan sanksi administratif sebelum adanya putusan pengadilan, Jaksa Penuntut Umum dapat mempertimbangkan untuk tidak mengajukan tuntutan pidana penjara. (2c) Tata cara permintaan penghentian penyidikan dan pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (2b) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.”
Pasal ini memiliki beberapa komponen kunci yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium:
- Kewenangan Penghentian Penyidikan: Kewenangan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan berada di tangan Jaksa Agung, namun hanya dapat dilakukan atas permintaan Menteri Keuangan. Mekanisme kontrol ganda ini memastikan bahwa keputusan untuk menghentikan penyidikan didasarkan pada pertimbangan kepentingan penerimaan negara dan aspek hukum. Menteri Keuangan, sebagai representasi kepentingan fiskal negara, menginisiasi proses ini, sementara Jaksa Agung, sebagai kepala lembaga penuntutan, memberikan legitimasi hukum untuk penghentian tersebut.
- Batas Waktu Pengambilan Keputusan: Jaksa Agung diberikan waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan dari Menteri Keuangan untuk menghentikan penyidikan. Batas waktu ini menunjukkan adanya keinginan untuk penyelesaian yang cepat setelah kondisi untuk penghentian terpenuhi, memberikan kepastian bagi Wajib Pajak dan mempercepat pemulihan pendapatan negara.
- Syarat Pelunasan Penuh: Syarat utama untuk penghentian penyidikan adalah pelunasan penuh kerugian pada pendapatan negara oleh Wajib Pajak atau tersangka. Besaran sanksi administratif berupa denda yang harus dibayarkan bervariasi tergantung pada pasal UU KUP yang dilanggar: satu kali jumlah kerugian untuk pelanggaran Pasal 38, tiga kali jumlah kerugian untuk pelanggaran Pasal 39, dan empat kali jumlah pajak yang terkait dengan transaksi tidak benar untuk pelanggaran Pasal 39A. Perbedaan besaran denda ini mencerminkan tingkat keparahan pelanggaran yang berbeda.
- Perluasan hingga Tahap Penuntutan: Amandemen dalam UU HPP melalui ayat (2a) dan (2b) memperluas kemungkinan penyelesaian finansial bahkan setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan. Terdakwa masih dapat melunasi kerugian negara beserta sanksi administratif. Bahkan, jika pelunasan dilakukan sebelum putusan pengadilan, Jaksa Penuntut Umum dapat mempertimbangkan untuk tidak menuntut pidana penjara. Hal ini semakin menekankan prioritas pemulihan pendapatan negara.
- Peraturan Pelaksana: Ayat (2c) mengamanatkan bahwa tata cara permintaan penghentian penyidikan dan pelunasan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini menunjukkan peran penting pemerintah dalam merinci implementasi praktis dari ketentuan ini.
6. Refleksi Prinsip Keadilan Restoratif dalam Pasal 44B
Pasal 44B UU KUP secara substansial mencerminkan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam beberapa aspek:
- Fokus pada Pemulihan Kerugian Negara: Syarat utama penghentian penyidikan adalah pelunasan kerugian pada pendapatan negara beserta sanksi administratif. Hal ini secara langsung mengatasi kerugian finansial yang dialami negara akibat tindak pidana perpajakan, yang merupakan inti dari pemulihan korban dalam konteks ini. Pasal ini mengutamakan pengembalian dana yang seharusnya menjadi milik publik.
- Kesempatan bagi Wajib Pajak untuk Memperbaiki Kesalahan: Pasal ini memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak yang melakukan tindak pidana untuk memperbaiki ketidakpatuhan mereka dengan melunasi kewajiban perpajakan dan membayar denda. Ini memungkinkan Wajib Pajak untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas dari proses peradilan pidana jika mereka bersedia bertanggung jawab dan memulihkan kerugian negara.
- Penghentian Proses Hukum: Mekanisme penghentian penyidikan setelah persyaratan pelunasan dan pembayaran denda terpenuhi menghindari proses peradilan pidana yang mungkin panjang, mahal, dan berpotensi merugikan bagi Wajib Pajak dan perekonomian secara keseluruhan. Ini mencerminkan upaya untuk mencari solusi yang lebih efisien dan konstruktif dalam menangani tindak pidana perpajakan tertentu.
- Peran Menteri Keuangan: Keterlibatan Menteri Keuangan dalam menginisiasi permintaan penghentian penyidikan menempatkan fokus pada kepentingan penerimaan negara. Hal ini memastikan bahwa keputusan untuk menawarkan jalur penyelesaian alternatif ini didasarkan pada pertimbangan fiskal yang matang dan mewakili kepentingan “korban” (negara).
7. Sanksi Administratif: Pencegahan dan Pemulihan
Sanksi administratif berupa denda yang diatur dalam Pasal 44B, yang merupakan kelipatan (1, 3, atau 4 kali) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, tidak dibayar, atau tidak seharusnya dikembalikan, memiliki peran ganda dalam konteks keadilan restoratif dan penegakan hukum pajak.
Pertama, denda ini berfungsi sebagai pencegahan (deterrence) bagi Wajib Pajak lain agar tidak melakukan pelanggaran serupa. Besarnya sanksi finansial yang signifikan ini meningkatkan risiko yang terkait dengan ketidakpatuhan pajak, sehingga diharapkan dapat mendorong Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban mereka dengan benar dan tepat waktu.
Kedua, denda ini berkontribusi pada pemulihan (restoration) pendapatan negara. Selain mengembalikan jumlah pajak yang hilang, denda ini juga memberikan kompensasi tambahan kepada negara atas biaya dan upaya yang dikeluarkan dalam mendeteksi, menyelidiki, dan memproses tindak pidana perpajakan. Variasi dalam besaran denda (1x, 3x, 4x) tergantung pada pasal UU KUP yang dilanggar mencerminkan tingkat keparahan dan kesengajaan yang berbeda dalam pelanggaran tersebut, sehingga sanksi yang diberikan lebih proporsional.
8. Perbandingan dengan Pendekatan Retributif dalam Hukum Pajak
Pasal 44B menawarkan alternatif yang jelas dibandingkan dengan pendekatan retributif yang lebih tradisional dalam hukum pajak, yang cenderung fokus pada pemberian hukuman seperti pidana penjara dan denda yang lebih tinggi setelah melalui proses peradilan pidana. Sementara pendekatan retributif menekankan pada pembalasan atas pelanggaran hukum, Pasal 44B mengutamakan penyelesaian kerugian finansial yang dialami negara.
Pergeseran ke arah pendekatan yang lebih restoratif dalam kasus-kasus tertentu, seperti yang difasilitasi oleh Pasal 44B, mengakui bahwa dalam tindak pidana perpajakan, tujuan utama negara seringkali adalah pemulihan pendapatan yang hilang. Dengan memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menghindari hukuman pidana melalui pelunasan penuh dan pembayaran denda, Pasal 44B mencerminkan fokus pada perbaikan kerugian daripada semata-mata pada penghukuman pelaku.
9. Implementasi dan Pertimbangan Praktis
Implementasi Pasal 44B melibatkan beberapa aspek prosedural yang perlu dipahami. Wajib Pajak atau tersangka yang ingin mengajukan permohonan penghentian penyidikan harus mengikuti langkah-langkah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 dan mungkin peraturan terkait lainnya seperti PMK No. 129/PMK.03/2012 dan PP No. 50/2022. Proses ini umumnya melibatkan:
- Pengajuan permohonan tertulis kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak.
- Pernyataan tertulis yang berisi pengakuan bersalah.
- Bukti pelunasan kerugian pada pendapatan negara dan sanksi administratif yang berlaku, biasanya berupa Surat Setoran Pajak (SSP).
- Dalam peraturan sebelumnya, terdapat persyaratan untuk menyerahkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account, namun perlu diverifikasi apakah ini masih menjadi persyaratan wajib berdasarkan peraturan terbaru seperti PMK-55/PMK.03/2016.
- Wajib Pajak atau tersangka mungkin perlu meminta informasi tertulis dari unit Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan penyidikan untuk mengetahui besarnya kerugian pada pendapatan negara dan sanksi administratif yang berlaku.
- Setelah menerima permohonan yang lengkap dan memverifikasi pembayaran penuh, Menteri Keuangan dapat mengajukan surat permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung.
- Jaksa Agung kemudian memiliki waktu maksimal 6 (enam) bulan untuk memutuskan permintaan penghentian tersebut.
Proses implementasi ini melibatkan beberapa pihak dan memerlukan langkah-langkah yang jelas untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi. Persyaratan adanya pengakuan bersalah dan pelunasan finansial penuh menggarisbawahi prinsip-prinsip akuntabilitas dan pemulihan yang mendasari mekanisme ini.
Kondisi/Langkah | Deskripsi | |
---|---|---|
Inisiasi oleh Wajib Pajak/Tersangka | Pengajuan permohonan tertulis kepada Menteri Keuangan (tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak). | |
Pengakuan Bersalah | Pernyataan tertulis yang berisi pengakuan bersalah harus disertakan dalam permohonan. | |
Pelunasan Kerugian Negara Penuh | Wajib Pajak atau tersangka harus melunasi sepenuhnya jumlah pajak yang kurang dibayar, tidak dibayar, atau yang seharusnya tidak dikembalikan. | |
Pembayaran Sanksi Administratif | Pembayaran sanksi administratif berupa denda: 1x (Pasal 38), 3x (Pasal 39), atau 4x (Pasal 39A) jumlah kerugian/pajak. | |
Permintaan Informasi dari DJP (jika perlu) | Wajib Pajak/tersangka mungkin perlu meminta informasi tertulis dari unit DJP terkait untuk mengetahui jumlah pasti kerugian negara dan sanksi. | |
Peran Menteri Keuangan | Setelah menerima permohonan dan memverifikasi pembayaran, Menteri Keuangan dapat meminta Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan. | |
Keputusan Jaksa Agung | Jaksa Agung memiliki diskresi untuk menghentikan penyidikan paling lama 6 bulan sejak tanggal permintaan Menteri. | |
Peraturan Pelaksana | Prosedur lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) seperti PMK-55/PMK.03/2016 dan mungkin peraturan terkait lainnya serta Peraturan Pemerintah (PP) seperti PP No. 50/2022. |
10. Kesimpulan: Pasal 44B sebagai Refleksi Keadilan Restoratif dalam Hukum Pajak
Pasal 44B UU KUP memainkan peran penting dalam mencerminkan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam sistem hukum perpajakan Indonesia dengan memprioritaskan pemulihan pendapatan negara dan menawarkan jalur bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan masalah tanpa harus melalui proses peradilan pidana secara penuh. Pasal ini menunjukkan adanya pendekatan pragmatis dalam penegakan hukum pajak, yang menyeimbangkan kebutuhan untuk penegakan hukum yang efektif dengan tujuan utama pengumpulan pendapatan negara, selaras dengan prinsip-prinsip inti keadilan restoratif dalam konteks pelanggaran finansial terhadap negara.
Dengan menyediakan mekanisme yang jelas untuk menghentikan penyidikan pidana setelah pelunasan finansial penuh dan pengakuan bersalah, Pasal 44B mewujudkan prinsip-prinsip perbaikan kerugian dan mendorong akuntabilitas, yang merupakan inti dari filosofi keadilan restoratif. Ketentuan ini menawarkan pendekatan yang lebih bernuansa dan berpotensi kurang punitif dalam menangani tindak pidana perpajakan, mengakui bahwa dalam banyak kasus, tujuan utama negara – pemulihan pendapatan yang hilang – dapat dicapai tanpa harus menjatuhkan hukuman pidana, sehingga menawarkan hasil yang lebih restoratif bagi negara dan Wajib Pajak.
Ketentuan seperti Pasal 44B memainkan peran penting dalam membangun sistem perpajakan yang tidak hanya efisien dalam menghasilkan pendapatan bagi negara tetapi juga dirasakan adil oleh Wajib Pajak, karena menawarkan alternatif untuk penuntutan pidana tradisional berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pemulihan. Dengan memasukkan unsur-unsur keadilan restoratif, kerangka hukum perpajakan Indonesia dapat menumbuhkan kepercayaan yang lebih besar dan mendorong tingkat kepatuhan sukarela yang lebih tinggi di kalangan Wajib Pajak, yang pada akhirnya berkontribusi pada basis pendapatan negara yang lebih kuat dan berkelanjutan.