Implikasi Pembentukan Badan Penerimaan Negara Republik Indonesia: Analisis Berdasarkan Keputusan Presiden Pengangkatan Penasihat Khusus Presiden

Jakarta, taxjusticenews.com:
I. Ringkasan Eksekutif
Laporan ini menganalisis implikasi pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) di Indonesia, sebuah inisiatif kebijakankarta, signifikan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Pembentukan BPN bertujuan untuk mereformasi sistem pengumpulan penerimaan negara secara fundamental, dengan target ambisius untuk meningkatkan rasio penerimaan negara menjadi 23% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2029. Inisiatif ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, yang secara resmi ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025. Sebagai langkah strategis untuk mendukung tujuan ini, Presiden juga telah menunjuk Dr. Drs. Hadi Poernomo, S.H., Ak., C.A., M.B.A., sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara pada tanggal 22 Oktober 2024. Laporan ini mengkaji rasional di balik pembentukan BPN, kerangka hukum yang mendasarinya, potensi dampaknya terhadap penerimaan negara, hubungannya dengan otoritas penerimaan yang ada seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), peran yang mungkin dimainkan oleh Penasihat Khusus Presiden, tantangan transisi yang mungkin timbul, pengalaman internasional dengan otoritas penerimaan serupa, koordinasi yang diperlukan dengan Kementerian Keuangan, serta perspektif dari berbagai ahli dan pemangku kepentingan. Analisis ini menyimpulkan bahwa pembentukan BPN memiliki potensi transformatif untuk memperkuat kondisi fiskal Indonesia, namun keberhasilannya sangat bergantung pada perencanaan yang matang, implementasi yang efektif, dan kemampuan untuk mengatasi berbagai tantangan yang diperkirakan akan muncul selama masa transisi.
II. Pendahuluan: Latar Belakang Pembentukan BPN dan Penunjukan Penasihat Khusus Presiden
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) merupakan sebuah inisiatif kebijakan yang sangat penting di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, yang bertujuan untuk melakukan perombakan mendasar terhadap sistem pengumpulan penerimaan negara di Indonesia. Inisiatif ini secara resmi tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, yang kerangka kerjanya ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025. Tujuan utama dari pembentukan BPN adalah untuk secara signifikan meningkatkan rasio penerimaan negara menjadi 23% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2029. Target yang ambisius ini mencerminkan adanya kesadaran akan kesenjangan antara efisiensi pengumpulan penerimaan negara Indonesia saat ini dengan potensi ekonominya, serta perbandingan dengan kinerja negara-negara lain dalam hal rasio penerimaan negara terhadap PDB. Rencana untuk membentuk BPN telah menjadi salah satu agenda kebijakan utama Prabowo sejak kampanye pemilihan presiden tahun 2024, yang menunjukkan komitmen yang kuat terhadap reformasi fiskal.
Sebagai langkah strategis untuk mendukung inisiatif penting ini, Presiden Prabowo Subianto telah menunjuk beberapa Penasihat Khusus, termasuk seorang untuk bidang Penerimaan Negara. Dr. Drs. Hadi Poernomo, S.H., Ak., C.A., M.B.A., secara resmi diangkat sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara pada hari Selasa, 22 Oktober 2024. Penunjukan ini menggarisbawahi betapa pentingnya inisiatif ini bagi Presiden dan kebutuhan akan bimbingan ahli dalam proses implementasinya.
Implikasi 1: Waktu dan Signifikansi. Dorongan simultan untuk pembentukan BPN dalam RPJMN dan penunjukan seorang Penasihat Khusus mengindikasikan komitmen yang kuat dan pendekatan strategis terhadap reformasi sistem pengumpulan penerimaan negara. Hal ini menunjukkan prioritas yang tinggi terhadap konsolidasi fiskal dan peningkatan penerimaan pemerintah untuk mendanai tujuan-tujuan pembangunan. RPJMN menetapkan arah kebijakan secara keseluruhan untuk lima tahun mendatang, dan dimasukkannya pembentukan BPN menandakan signifikansi strategisnya. Penunjukan seorang Penasihat Khusus, terutama seseorang dengan latar belakang Dr. Hadi Poernomo (meskipun rincian latar belakangnya tidak sepenuhnya dijelaskan dalam snippets), semakin menekankan fokus Presiden pada bidang ini dan kebutuhan akan keahlian khusus untuk menavigasi kompleksitas pembentukan badan penerimaan negara yang baru.
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis implikasi dari perkembangan ganda ini, mengeksplorasi potensi manfaat, tantangan, dan peran Penasihat Khusus dalam membentuk masa depan sistem penerimaan negara Indonesia.
III. Rasional dan Tujuan Pembentukan Badan Penerimaan Negara
Pemerintah meyakini bahwa tingkat penerimaan negara di Indonesia saat ini masih rendah, yang disebabkan oleh adanya kesenjangan baik dalam aspek administrasi maupun kebijakan. Kesenjangan-kesenjangan ini memerlukan transformasi tata kelola kelembagaan untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Pembentukan BPN dipandang sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kapasitas fiskal negara.
Salah satu tujuan utama pembentukan BPN adalah untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia menjadi 23% dari PDB pada tahun 2029. Target ini sangat ambisius dan mencerminkan keinginan untuk menyelaraskan tingkat penerimaan Indonesia dengan negara-negara maju atau negara-negara tetangga di kawasan regional.
BPN juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengumpulan dan pengelolaan penerimaan negara melalui pendekatan yang lebih terintegrasi. Hal ini mencakup potensi integrasi berbagai direktorat yang saat ini berada di bawah Kementerian Keuangan, seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Prabowo Subianto sendiri telah mengindikasikan rencana untuk memisahkan DJP dan DJBC dari Kementerian Keuangan setelah pelantikannya. Model Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA), di mana badan penerimaan beroperasi secara independen tetapi melapor kepada Presiden atau Menteri Keuangan, juga telah dipertimbangkan.
RPJMN 2025-2029 menguraikan target-target spesifik untuk mendukung peningkatan rasio penerimaan negara: peningkatan jumlah wajib pajak hingga 90% pada tahun 2029 ; pencapaian tingkat kepatuhan pajak sebesar 100% untuk pengajuan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pada tahun 2029; dan pencapaian indeks efektivitas kebijakan penerimaan negara sebesar 100% pada tahun 2029. Strategi utama untuk mencapai target-target ini meliputi implementasi sistem administrasi perpajakan inti (Coretax); penyederhanaan proses bisnis dan penguatan kelembagaan; peningkatan tata kelola ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, termasuk potensi implementasi “pajak dosa” (sin tax); peningkatan kepatuhan perpajakan secara keseluruhan; dan pemanfaatan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), untuk menargetkan ekonomi bayangan.
Implikasi 2: Tujuan Ambisius dan Pendekatan Multi-aspek. Tujuan pemerintah untuk BPN sangat ambisius, dengan target peningkatan rasio pajak yang signifikan. Strategi yang diuraikan menunjukkan pendekatan yang komprehensif yang menggabungkan reformasi administrasi, peningkatan teknologi, penyesuaian kebijakan, dan fokus pada peningkatan basis wajib pajak dan kepatuhan. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa pencapaian target penerimaan memerlukan perubahan sistemik di berbagai aspek pengumpulan penerimaan. Target rasio pajak 23% merupakan lompatan substansial dari tingkat Indonesia saat ini (meskipun rasio saat ini tidak disebutkan secara spesifik dalam snippets). Strategi terperinci, seperti implementasi Coretax, penyederhanaan proses bisnis, dan penargetan ekonomi bayangan dengan AI, menunjukkan rencana yang disengaja dan multi-aspek. Dimasukkannya target yang spesifik dan terukur untuk jumlah wajib pajak dan kepatuhan semakin menggarisbawahi komitmen pemerintah terhadap hasil yang nyata.
IV. Kerangka Hukum dan Regulasi
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029, yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo pada tanggal 10 Februari 2025 dan berlaku segera, menyediakan landasan hukum utama untuk pembentukan BPN. Perpres ini mengamanatkan pembentukan BPN untuk mencapai target peningkatan rasio penerimaan negara. Selain itu, Perpres ini menguraikan strategi dan target untuk meningkatkan penerimaan negara, yang akan menjadi prinsip panduan bagi kerangka operasional BPN.
Beberapa ahli, seperti anggota DPR RI Bambang Soesatyo, menyarankan bahwa pembentukan BPN terpusat yang mengelola seluruh penerimaan negara mungkin memerlukan Undang-Undang Omnibus. Hal ini dikarenakan pembentukan badan semacam itu dapat memerlukan revisi setidaknya 11 undang-undang yang ada di berbagai sektor, termasuk perpajakan, kepabeanan, cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan pengelolaan keuangan negara. Undang-Undang Omnibus, yang berpotensi berbentuk Rancangan Undang-Undang Konsolidasi Penerimaan Negara, dapat mengintegrasikan seluruh peraturan ini di bawah sistem terpadu BPN.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menyediakan kerangka hukum dasar untuk penerimaan negara non-pajak. Undang-undang dan peraturan lain yang ada mengatur perpajakan dan kepabeanan, yang perlu dipertimbangkan dan berpotensi diamandemen dalam konteks pembentukan BPN.
Implikasi 3: Kerangka Hukum Berlapis. Landasan hukum untuk BPN terus berkembang. Meskipun Perpres No. 12/2025 menyediakan mandat awal, potensi kebutuhan akan Undang-Undang Omnibus menyoroti kompleksitas konsolidasi berbagai aliran penerimaan dan otoritas di bawah satu badan. Hal ini menunjukkan bahwa kerangka hukum kemungkinan akan menjadi perkembangan multi-tahap, dimulai dengan Perpres dan berpotensi diikuti oleh perubahan legislatif yang lebih komprehensif. Perpres secara langsung membahas tujuan RPJMN dan mengamanatkan pembentukan BPN. Namun, pengakuan bahwa berbagai undang-undang yang ada di berbagai domain penerimaan (pajak, bea cukai, PNBP) mungkin perlu direvisi untuk sepenuhnya memberdayakan dan merampingkan operasi BPN menunjukkan lapisan pertimbangan hukum yang lebih dalam. Saran Undang-Undang Omnibus sebagai solusi mengindikasikan pemahaman akan perlunya pendekatan hukum yang komprehensif dan terintegrasi untuk membentuk BPN secara efektif.
V. Implikasi terhadap Penerimaan Negara
Implikasi utama yang diharapkan dari pembentukan BPN adalah peningkatan signifikan dalam penerimaan negara melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas pengumpulan. BPN yang terpusat dapat merampingkan proses, meningkatkan analisis data, dan memperkuat pemantauan dan evaluasi pengumpulan penerimaan. Integrasi data dari berbagai sumber penerimaan (pajak, bea cukai, PNBP) dapat menghasilkan analisis dan perencanaan yang lebih baik. Peningkatan kualitas layanan kepada wajib pajak juga diharapkan, sehingga memudahkan mereka dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
BPN diperkirakan akan fokus pada peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui edukasi, sosialisasi, dan layanan yang lebih baik. Sistem yang lebih efisien dapat mendorong kepatuhan yang lebih besar. Pemanfaatan teknologi informasi sangat penting bagi BPN untuk meningkatkan akurasi pengumpulan data dan pelaporan, serta efisiensi secara keseluruhan. Otomatisasi dapat mengurangi kesalahan manusia dan mempercepat proses administrasi. Peningkatan penerimaan negara melalui BPN berpotensi mengurangi ketergantungan pemerintah pada utang untuk membiayai anggaran. Aliran penerimaan yang lebih stabil dan dapat diprediksi akan memungkinkan perencanaan anggaran yang lebih baik dan mengurangi fluktuasi dalam pengeluaran pemerintah.
Pengalaman dari negara-negara yang telah membentuk Semi-Autonomous Revenue Authorities (SARAs) menunjukkan potensi peningkatan rasio pajak. Contohnya termasuk SUNAT di Peru, yang mengalami peningkatan signifikan dalam rasio pajaknya setelah pembentukannya. Demikian pula, SENIAT di Venezuela dan Uganda Revenue Authority (URA) juga mengalami pertumbuhan penerimaan setelah menjadi SARA.
Implikasi 4: Potensi Transformasi Kesehatan Fiskal. Pembentukan BPN menyimpan potensi signifikan untuk mentransformasi kesehatan fiskal Indonesia dengan meningkatkan penerimaan negara. Peningkatan efisiensi, efektivitas, dan kepatuhan wajib pajak yang diharapkan, ditambah dengan kemajuan teknologi, dapat mengarah pada basis penerimaan yang lebih kuat dan berkelanjutan. Pengalaman positif negara lain dengan otoritas penerimaan serupa memberikan argumen yang kuat untuk potensi dampak BPN. Penekanan pada perolehan efisiensi melalui sentralisasi dan teknologi menunjukkan langkah menuju modernisasi administrasi penerimaan. Fokus pada kepatuhan wajib pajak, bukan hanya penegakan hukum, mengindikasikan pendekatan yang lebih holistik terhadap peningkatan penerimaan. Data historis dari SARA lain memberikan bukti empiris bahwa reformasi kelembagaan semacam itu memang dapat menyebabkan peningkatan substansial dalam penerimaan pajak, memperkuat alasan untuk potensi dampak positif BPN pada situasi fiskal Indonesia.
VI. Hubungan dengan Otoritas Penerimaan yang Ada
Pembentukan BPN menimbulkan pertanyaan tentang masa depan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang keduanya saat ini berada di bawah Kementerian Keuangan. Berbagai skenario telah dibahas, termasuk potensi penggabungan DJP dan DJBC ke dalam BPN, atau pemisahan mereka dari Kementerian Keuangan untuk beroperasi di bawah badan baru tersebut. Prabowo Subianto telah mengindikasikan rencana untuk memisahkan DJP dan DJBC dari Kementerian Keuangan setelah pelantikannya. Gagasan model Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA), di mana badan penerimaan beroperasi secara independen tetapi melapor kepada Presiden atau Menteri Keuangan, juga telah dipertimbangkan.
BPN bertujuan untuk menjadi badan terpusat yang mengelola seluruh penerimaan negara, yang mengimplikasikan restrukturisasi signifikan terhadap otoritas penerimaan yang ada. Hal ini dapat mengarah pada pendekatan pengumpulan penerimaan yang lebih terpadu dan terkoordinasi, yang berpotensi menghilangkan redundansi dan meningkatkan berbagi informasi. Namun, mengintegrasikan berbagai direktorat dengan potensi perbedaan budaya dan sistem organisasi dapat menimbulkan tantangan birokrasi. Koordinasi yang efektif antara BPN dan badan-badan pemerintah lainnya, termasuk Kementerian Keuangan, akan sangat penting.
Implikasi 5: Restrukturisasi Organisasi yang Signifikan. Pembentukan BPN memerlukan restrukturisasi fundamental terhadap badan-badan pengumpul penerimaan Indonesia. DJP dan DJBC, komponen kunci dari sistem saat ini, kemungkinan akan terkena dampak signifikan, berpotensi melalui penggabungan atau beroperasi sebagai unit di dalam BPN yang baru. Pergeseran organisasi ini memerlukan perencanaan yang matang untuk memastikan transisi yang mulus dan mempertahankan efisiensi pengumpulan penerimaan selama perubahan. Diskusi mengenai pemisahan DJP dan DJBC dari Kementerian Keuangan untuk membentuk BPN menunjukkan pergeseran dari kontrol terpusat saat ini di bawah Menteri Keuangan. Konsep SARA lebih lanjut menyiratkan tingkat otonomi operasional untuk BPN. Hal ini mengimplikasikan perubahan signifikan dalam lanskap organisasi pengumpulan penerimaan, yang memerlukan pertimbangan yang cermat tentang bagaimana entitas-entitas yang ada ini akan diintegrasikan atau akan beroperasi di bawah kerangka kerja yang baru untuk menghindari gangguan dan memaksimalkan sinergi.
VII. Peran Penasihat Khusus Presiden
Penunjukan Dr. Drs. Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus mengindikasikan kebutuhan akan nasihat ahli dalam pembentukan dan operasionalisasi BPN. Latar belakang beliau (meskipun tidak sepenuhnya dijelaskan dalam snippets, gelar yang disandang menunjukkan keahlian dalam hukum, akuntansi, dan administrasi bisnis) kemungkinan membawa wawasan yang berharga untuk upaya yang kompleks ini. Meskipun tugas dan tanggung jawab spesifik tidak dirinci dalam snippets yang tersedia, peran tersebut kemungkinan melibatkan: memberikan nasihat kepada Presiden mengenai arah strategis dan implementasi BPN; menyediakan keahlian dalam aspek hukum, keuangan, dan administrasi dalam pembentukan badan penerimaan negara yang baru; memfasilitasi koordinasi antara berbagai badan pemerintah yang terlibat dalam transisi; berkontribusi pada pengembangan kebijakan dan peraturan untuk operasi BPN; memanfaatkan praktik terbaik internasional dan pelajaran yang didapat dari negara lain dengan otoritas penerimaan serupa; dan memantau kemajuan pembentukan BPN serta memberikan umpan balik kepada Presiden.
Dr. Hadi Poernomo memiliki riwayat jabatan yang signifikan di masa lalu, termasuk sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Direktur Jenderal Pajak. Pengalaman beliau dalam posisi-posisi ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang sistem pengelolaan keuangan dan perpajakan Indonesia, yang akan sangat berharga dalam kapasitas penasihatnya. Perlu dicatat bahwa Dr. Hadi Poernomo pernah menghadapi tantangan hukum terkait masa jabatannya sebagai Direktur Jenderal Pajak, yang mungkin menjadi pertimbangan dalam peran beliau saat ini.
Implikasi 6: Memanfaatkan Pengalaman Masa Lalu untuk Reformasi Masa Depan. Pengalaman luas Dr. Hadi Poernomo dalam peran-peran pengawasan keuangan dan pengumpulan penerimaan utama menempatkannya sebagai tokoh yang berpotensi berpengaruh dalam membentuk BPN. Kepemimpinan beliau sebelumnya di BPK dan DJP memberinya perspektif unik tentang tantangan dan peluang dalam sistem penerimaan Indonesia. Namun, masalah hukum di masa lalunya juga dapat menarik perhatian pada peran penasihatnya. Jejak karir Dr. Hadi Poernomo, termasuk memimpin otoritas pajak dan badan audit tertinggi, menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk penerimaan negara dan tata kelola keuangan. Pengalaman ini akan sangat relevan dalam menasihati Presiden tentang pembentukan badan penerimaan negara yang baru. Namun, tantangan hukum yang terdokumentasi dari masa jabatannya di DJP dapat menjadi faktor yang mungkin dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan dalam mengevaluasi efektivitasnya dalam peran penasihat ini.
VIII. Potensi Tantangan dan Isu Transisi
Potensi resistensi birokrasi dari institusi yang ada, terutama Kementerian Keuangan dan direktorat-direktoratnya (DJP dan DJBC), dapat menjadi tantangan bagi kelancaran pembentukan BPN. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya telah menyatakan keberatannya terhadap pemisahan DJP dan DJBC dari Kementerian. Masalah teknis terkait implementasi sistem administrasi perpajakan inti (Coretax) baru-baru ini menimbulkan kekhawatiran tentang kesiapan teknis dan potensi kesulitan dalam pembentukan badan penerimaan terintegrasi yang baru. Memastikan kesiapan infrastruktur TI yang canggih untuk mengelola dan menganalisis data dalam jumlah besar akan sangat penting. Interoperabilitas dengan sistem yang ada dan migrasi data juga akan menjadi kendala teknis yang signifikan.
BPN akan membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan terlatih di bidang perpajakan dan pengelolaan keuangan negara. Hal ini mencakup pengembangan keahlian personel yang ada dan potensi perekrutan staf baru. Resistensi dari staf yang ada terhadap perubahan organisasi dan struktur pelaporan baru juga mungkin terjadi. Koordinasi yang efektif antar berbagai badan pemerintah akan sangat penting bagi keberhasilan BPN. Menyelaraskan kebijakan, berbagi data, dan memastikan komunikasi yang efisien antara BPN dan kementerian serta institusi terkait lainnya akan sangat krusial. Mendapatkan kepercayaan dan dukungan publik untuk badan penerimaan negara yang baru akan penting bagi efektivitas jangka panjangnya. Komunikasi yang jelas tentang tujuan dan manfaat BPN akan diperlukan untuk memastikan kerja sama dari wajib pajak.
Ekonom seperti Esther Sri Astuti dari Indef memperkirakan bahwa BPN mungkin membutuhkan waktu 3 hingga 5 tahun untuk stabil dan dampak nyatanya terhadap penerimaan negara dapat terlihat. Masa transisi dapat menimbulkan inefisiensi awal saat badan baru tersebut membangun proses dan sistemnya.
Implikasi 7: Menavigasi Transisi yang Kompleks. Transisi ke badan penerimaan negara yang baru seperti BPN penuh dengan potensi tantangan. Mengatasi resistensi birokrasi, memastikan kesiapan teknis (terutama setelah masalah Coretax), membangun kapasitas sumber daya manusia yang diperlukan, dan membangun koordinasi antar-lembaga yang efektif akan menjadi faktor keberhasilan yang kritis. Jangka waktu agar BPN dapat beroperasi penuh dan menunjukkan dampak signifikan pada penerimaan juga perlu realistis. Oposisi sebelumnya dari Menteri Keuangan mengisyaratkan potensi resistensi internal dalam birokrasi pemerintah. Masalah dengan Coretax menyoroti risiko yang terkait dengan implementasi sistem TI skala besar di sektor penerimaan. Membangun tenaga kerja yang kompeten dan memastikan koordinasi yang mulus di seluruh badan pemerintah merupakan tantangan abadi dalam reformasi sektor publik. Perkiraan jangka waktu agar BPN matang menunjukkan bahwa manfaatnya mungkin tidak segera terlihat dan memerlukan upaya berkelanjutan selama beberapa tahun.
IX. Pengalaman Internasional dengan Otoritas Penerimaan
Banyak negara telah mengadopsi model Semi-Autonomous Revenue Authorities (SARAs) untuk meningkatkan pengumpulan penerimaan. Badan-badan ini biasanya memiliki tingkat independensi operasional dari Kementerian Keuangan, dengan struktur tata kelola dan sistem manajemen sumber daya manusia mereka sendiri.
Contoh SARA yang sukses meliputi SUNAT di Peru, yang sering disebut sebagai contoh keberhasilan, mengalami peningkatan signifikan dalam rasio pajaknya setelah menjadi SARA. Kenya Revenue Authority (KRA) adalah contoh lain dari SARA yang dilaporkan telah meningkatkan efisiensi pengumpulan penerimaan. Uganda Revenue Authority (URA) juga mengalami kenaikan substansial dalam rasio pajaknya setelah pembentukannya sebagai SARA. Namun, National Board of Revenue (NBR) di Bangladesh, meskipun telah membantu mempertahankan penerimaan, rasio pajaknya tetap relatif rendah, menunjukkan bahwa model SARA saja bukanlah jaminan rasio pajak yang tinggi.
Fitur-fitur utama SARA seringkali mencakup kerangka hukum mereka sendiri, yang independen dari undang-undang kepegawaian umum; sumber pendanaan khusus, seperti persentase dari penerimaan yang mereka kumpulkan; tata kelola oleh dewan direksi dengan representasi dari pemerintah dan sektor publik/swasta; dan fokus pada manajemen berbasis kinerja dengan sistem kompensasi yang lebih fleksibel.
Pelajaran yang dapat dipetik untuk Indonesia adalah bahwa keberhasilan SARA bergantung pada komitmen politik yang kuat, kerangka hukum dan kelembagaan yang dirancang dengan baik, dan tata kelola yang efektif. Pemisahan badan penerimaan dari Kementerian Keuangan saja tidak cukup; redesain yang komprehensif sangat penting. Melindungi hak-hak wajib pajak dan memastikan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil juga esensial dalam pengaturan kelembagaan yang baru.
Implikasi 8: Belajar dari Pengalaman Global. Pengalaman internasional dengan SARA memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. Meskipun model SARA terbukti berhasil meningkatkan penerimaan di banyak negara, ini bukan solusi yang cocok untuk semua. Indonesia perlu mempertimbangkan dengan cermat fitur-fitur spesifik dari SARA yang sukses, seperti landasan hukum yang kuat, tata kelola yang independen, dan fokus pada kinerja, sambil juga mewaspadai potensi jebakan, seperti yang terlihat dalam kasus Bangladesh. Desain BPN harus memasukkan pelajaran-pelajaran ini untuk memaksimalkan peluang keberhasilannya. Memeriksa pengalaman negara-negara seperti Peru, Kenya, dan Uganda, yang telah melihat dampak positif pada penerimaan dari adopsi model SARA, menawarkan tolok ukur dan menyoroti potensi praktik terbaik yang dapat ditiru oleh Indonesia. Namun, contoh Bangladesh menggarisbawahi pentingnya kerangka kerja keseluruhan yang kuat dan bukan hanya struktur kelembagaan. Analisis komparatif ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu melampaui sekadar menciptakan badan baru dan fokus pada prinsip-prinsip dasar administrasi penerimaan yang efektif yang telah berkontribusi pada keberhasilan SARA di tempat lain.
X. Koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Kebijakan Fiskal
Pembentukan BPN yang independen berpotensi menimbulkan tumpang tindih atau konflik dengan Kementerian Keuangan, yang secara tradisional bertanggung jawab atas kebijakan fiskal dan pengelolaan anggaran secara keseluruhan. Pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas antara BPN dan Kementerian Keuangan akan sangat penting untuk menghindari kebingungan dan memastikan tata kelola yang efektif. Kementerian Keuangan kemungkinan akan tetap bertanggung jawab atas kebijakan fiskal yang lebih luas, perencanaan anggaran, dan pengelolaan ekonomi makro. Fokus utama BPN adalah pada pengumpulan dan administrasi penerimaan.
Mekanisme komunikasi dan koordinasi rutin antara kedua entitas perlu dibentuk. Ini dapat melibatkan representasi Kementerian Keuangan dalam dewan direksi BPN atau pertemuan antar-lembaga secara berkala. Saat ini, Kementerian Keuangan berada di bawah koordinasi langsung Presiden Prabowo Subianto. BPN juga diharapkan berada di bawah koordinasi langsung Presiden. Pengawasan langsung ini dapat membantu menyelesaikan potensi konflik dan memastikan keselarasan pengumpulan penerimaan dengan tujuan fiskal secara keseluruhan. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di dalam Kementerian Keuangan memainkan peran penting dalam merumuskan rekomendasi kebijakan fiskal, termasuk yang terkait dengan penerimaan. Hubungan antara BPN dan BKF akan penting untuk memastikan bahwa upaya pengumpulan penerimaan mendukung tujuan kebijakan fiskal yang lebih luas.
Implikasi 9: Memastikan Koherensi dalam Pengelolaan Fiskal. Koordinasi yang efektif antara BPN dan Kementerian Keuangan sangat penting untuk mempertahankan pendekatan yang koheren dan terintegrasi terhadap pengelolaan fiskal. Meskipun BPN akan fokus pada generasi penerimaan, kegiatannya harus selaras dengan tujuan kebijakan fiskal keseluruhan yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Koordinasi langsung kedua entitas di bawah Presiden dapat memfasilitasi keselarasan ini, tetapi protokol dan saluran komunikasi yang jelas masih diperlukan untuk menghindari fragmentasi dan memastikan sinergi dalam pengelolaan keuangan publik Indonesia. Pemisahan pengumpulan penerimaan ke dalam badan independen memerlukan pertimbangan yang cermat tentang bagaimana badan ini akan berinteraksi dengan badan yang bertanggung jawab atas kebijakan fiskal secara keseluruhan. Peran Kementerian Keuangan yang berkelanjutan dalam perencanaan anggaran dan pengelolaan ekonomi makro berarti bahwa target penerimaan dan strategi pengumpulan BPN harus selaras dengan tujuan fiskal yang lebih luas ini. Fakta bahwa keduanya akan melapor langsung kepada Presiden menawarkan mekanisme potensial untuk koordinasi tingkat tinggi, tetapi kolaborasi tingkat operasional dan berbagi informasi antara BPN dan Kementerian Keuangan (termasuk BKF) akan sangat penting untuk tata kelola fiskal yang efektif.
XI. Perspektif Ahli dan Pemangku Kepentingan
Para pendukung berpendapat bahwa BPN dapat meningkatkan efisiensi pengumpulan penerimaan dan membantu mencapai rasio pajak yang lebih tinggi. Pemisahan dari Kementerian Keuangan dapat memberikan lebih banyak otonomi dan fokus pada generasi penerimaan. Namun, ekonom seperti Esther Sri Astuti telah menyatakan skeptisisme tentang efektivitas langsung BPN, menyarankan bahwa mungkin diperlukan waktu bertahun-tahun untuk melihat manfaat nyata dan dapat menambah biaya birokrasi. Kekhawatiran juga ada tentang potensi resistensi dari dalam birokrasi yang ada. Keberhasilan BPN akan bergantung pada penanganan kesenjangan administrasi dan kebijakan yang mendasarinya, bukan hanya pembentukan institusi baru. Memastikan perlindungan hak-hak wajib pajak di bawah struktur BPN yang baru juga merupakan perhatian utama. Beberapa pihak berpendapat bahwa peningkatan penerimaan adalah kebutuhan mendesak untuk membiayai pembangunan dan mengurangi utang. Yang lain menyarankan bahwa transisi yang hati-hati dan terencana dengan baik lebih penting daripada implementasi yang terburu-buru.
Implikasi 10: Reaksi Campuran dan Penekanan pada Implementasi yang Efektif. Usulan pembentukan BPN telah memicu reaksi beragam dari para ahli dan pemangku kepentingan. Meskipun ada kesepakatan umum tentang perlunya meningkatkan pengumpulan penerimaan, beberapa ahli berhati-hati tentang manfaat langsung dari pembentukan badan baru dan menyoroti pentingnya mengatasi masalah mendasar dalam sistem perpajakan. Memastikan transisi yang mulus, melindungi hak-hak wajib pajak, dan menunjukkan peningkatan nyata dalam pengumpulan penerimaan akan sangat penting untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas untuk BPN. Dukungan untuk BPN sering kali berasal dari keyakinan bahwa badan yang berdedikasi dan berpotensi lebih otonom dapat fokus lebih efektif pada generasi penerimaan. Namun, kritik menunjukkan bahwa perubahan kelembagaan saja mungkin tidak menyelesaikan masalah mendasar administrasi dan kebijakan perpajakan. Kekhawatiran tentang masa transisi dan kebutuhan untuk melindungi hak-hak wajib pajak menggarisbawahi pentingnya perencanaan dan implementasi yang cermat untuk memastikan bahwa BPN mencapai tujuan yang dimaksudkan tanpa menciptakan tantangan baru atau merusak kepercayaan publik.
XII. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) merupakan inisiatif kebijakan yang berani dengan potensi untuk secara signifikan meningkatkan kapasitas fiskal Indonesia. Tujuan untuk mencapai rasio penerimaan negara sebesar 23% terhadap PDB pada tahun 2029 menunjukkan ambisi yang kuat untuk memodernisasi sistem pengumpulan penerimaan dan mendanai tujuan-tujuan pembangunan nasional. Penunjukan Dr. Drs. Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menggarisbawahi pentingnya inisiatif ini dan kebutuhan akan keahlian dalam proses implementasinya.
Analisis ini menyoroti bahwa keberhasilan BPN akan bergantung pada beberapa faktor kunci. Pertama, kerangka hukum yang kuat dan komprehensif, yang mungkin memerlukan lebih dari sekadar Peraturan Presiden dan berpotensi membutuhkan Undang-Undang Omnibus untuk mengintegrasikan berbagai peraturan terkait penerimaan negara. Kedua, transisi yang mulus dan terkelola dengan baik dari otoritas penerimaan yang ada ke struktur BPN yang baru, yang memerlukan perhatian yang cermat terhadap potensi resistensi birokrasi, tantangan teknis, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Ketiga, koordinasi yang efektif antara BPN dan Kementerian Keuangan untuk memastikan keselarasan kebijakan fiskal dan upaya pengumpulan penerimaan. Keempat, pembelajaran dari pengalaman internasional dengan otoritas penerimaan serupa, terutama model SARA, untuk mengadopsi praktik terbaik dan menghindari potensi jebakan. Kelima, menjaga kepercayaan publik melalui transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak-hak wajib pajak.
Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi strategis dapat diajukan:
- Implementasi Bertahap: Pemerintah sebaiknya mengadopsi pendekatan implementasi bertahap untuk BPN, dimulai dengan pembentukan kerangka hukum yang kuat dan rencana transisi yang terperinci.
- Keterlibatan Pemangku Kepentingan: Keterlibatan berkelanjutan dengan semua pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Keuangan, DJP, DJBC, wajib pajak, dan para ahli, sangat penting untuk mengatasi kekhawatiran dan memastikan dukungan.
- Fokus pada Teknologi: Investasi signifikan dalam infrastruktur TI yang kuat dan terintegrasi, dengan belajar dari masalah yang dihadapi dengan Coretax, sangat diperlukan.
- Pengembangan Sumber Daya Manusia: Program pelatihan dan pengembangan yang komprehensif untuk staf BPN harus diprioritaskan untuk membangun keahlian yang diperlukan.
- Mekanisme Koordinasi yang Jelas: Pembentukan mekanisme koordinasi yang jelas dan efektif antara BPN dan Kementerian Keuangan sangat penting untuk memastikan keselarasan kebijakan fiskal dan upaya pengumpulan penerimaan.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam operasi BPN akan membangun kepercayaan publik.
- Pemantauan Kinerja: Indikator kinerja yang jelas dan mekanisme pemantauan harus ditetapkan untuk melacak efektivitas BPN dalam mencapai target penerimaannya.
- Dukungan Legislatif: Dukungan legislatif yang diperlukan, berpotensi melalui Undang-Undang Omnibus, harus diupayakan untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi BPN.
- Definisi Peran Penasihat Khusus: Tugas dan tanggung jawab spesifik Penasihat Khusus Presiden perlu didefinisikan dan dikomunikasikan dengan jelas untuk memaksimalkan kontribusi mereka terhadap pembentukan BPN.
Pembentukan BPN merupakan langkah krusial bagi masa depan fiskal Indonesia. Implementasi yang berhasil akan sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan kemandirian finansial negara.