Meningkatkan Rasio Pajak Indonesia: Analisis Komprehensif Integrasi TAE-SAMS dalam CTAS dan Imperatif Strategis Terkait

Jakarta, taxjusticenews.com:
1. Ringkasan Eksekutif
Penerimaan pajak merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi Indonesia, menyumbang hampir 80% dari pendapatan negara pada tahun 2023. Namun, Indonesia menghadapi tantangan rasio pajak yang masih rendah, berkisar antara 10-11% pada tahun 2018, 10,1% pada tahun 2022, dan 10,21% pada tahun 2023, jauh di bawah rata-rata regional dan OECD. Dalam upaya mengatasi hal ini, pemerintah Indonesia meluncurkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Core Tax Administration System/CTAS) yang mulai berlaku efektif 1 Januari 2025. CTAS dirancang untuk mengintegrasikan dan menyederhanakan seluruh proses administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran hingga audit dan penagihan, dengan tujuan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mengoptimalkan penerimaan negara.
Laporan ini menganalisis potensi signifikan integrasi Tax Accounting Equation (TAE) dari Dr. Joko Ismuhadi dengan Self Assessment Monitoring System (SAMS) dalam kerangka CTAS untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia. Analisis menunjukkan bahwa integrasi ini dapat secara substansial meningkatkan deteksi penghindaran pajak, efisiensi administrasi, dan kepatuhan wajib pajak. Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada penanganan tantangan kritis seperti stabilitas sistem, kualitas dan keamanan data, pengembangan sumber daya manusia, serta adaptasi regulasi. Laporan ini juga menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan teknologi canggih seperti Kecerdasan Buatan (AI) dan Pembelajaran Mesin (ML), serta belajar dari praktik terbaik internasional. Rekomendasi utama mencakup penguatan kerangka hukum data, investasi pada infrastruktur dan stabilitas sistem, pengembangan kapasitas SDM, dan pembangunan kepercayaan wajib pajak melalui komunikasi dan transparansi yang berkelanjutan.
2. Pendahuluan: Konteks Reformasi Perpajakan Indonesia dan Pertanyaan
Latar Belakang Modernisasi Administrasi Perpajakan Indonesia (CTAS)
Pajak memegang peranan fundamental sebagai penopang utama pendapatan negara Indonesia. Pada tahun 2023, penerimaan perpajakan menyumbang hampir 80% dari total pendapatan negara dan hibah. Meskipun demikian, Indonesia terus menghadapi tantangan rasio pajak terhadap PDB yang relatif rendah. Data menunjukkan rasio pajak berada di kisaran 10-11% pada tahun 2018, 10,1% pada tahun 2022, dan 10,21% pada tahun 2023. Angka ini masih di bawah rata-rata regional dan negara-negara OECD, menunjukkan adanya potensi besar yang belum tergali dalam penerimaan pajak.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DGT) meluncurkan Core Tax Administration System (CTAS) sebagai inisiatif strategis. CTAS merupakan sistem administrasi layanan terintegrasi berbasis teknologi yang dirancang untuk menyederhanakan seluruh proses inti administrasi perpajakan, termasuk pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, audit, dan penagihan. Sistem baru ini mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81 Tahun 2024.
Tujuan ambisius CTAS mencakup otomatisasi dan digitalisasi administrasi pajak, peningkatan analisis kepatuhan berbasis risiko, peningkatan transparansi akun wajib pajak, promosi laporan keuangan yang akuntabel, dan pada akhirnya, pencapaian target pendapatan nasional. Sistem ini diharapkan dapat mewujudkan institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel dengan proses bisnis yang efektif dan efisien, serta membangun sinergi optimal antar lembaga.
Gambaran Umum Persamaan Akuntansi Pajak (TAE) dan Sistem Pemantauan Penilaian Mandiri (SAMS)
Di samping CTAS, terdapat dua konsep penting yang dipertimbangkan untuk integrasi: Persamaan Akuntansi Pajak (Tax Accounting Equation/TAE) dan Self-Assessment Monitoring System (SAMS). TAE, yang diperkenalkan oleh Dr. Joko Ismuhadi, adalah alat akuntansi forensik inovatif yang dirancang untuk mendeteksi inkonsistensi keuangan yang mengindikasikan aktivitas ekonomi yang tidak dilaporkan dan penghindaran pajak, khususnya dalam konteks Indonesia. Formuliasi intinya adalah “Pendapatan – Beban = Aset – Kewajiban” dan “Pendapatan = Beban + Aset – Kewajiban”.
Sementara itu, SAMS adalah kerangka pemantauan proaktif yang, ketika diintegrasikan dengan TAE, memberdayakan organisasi untuk meningkatkan kesadaran diri terkait kewajiban pajak mereka dan secara proaktif mendeteksi potensi masalah sebelum membesar.
Tujuan dan Lingkup Laporan: Membahas “Aspek Relevan Lainnya”
Pertanyaan yang diajukan berfokus pada “aspek lain apa saja yang relevan untuk didiskusikan” mengingat potensi signifikan integrasi TAE dengan SAMS dalam CTAS untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia. Laporan ini bertujuan untuk memberikan analisis strategis dan mendalam tentang implikasi multifaset dari integrasi ini, melampaui manfaat teknis langsungnya. Laporan ini akan membahas faktor-faktor yang saling terkait yang krusial untuk keberlanjutan keberhasilan dan dampak optimalnya pada penerimaan pajak Indonesia.
Integrasi TAE-SAMS dalam CTAS merupakan sebuah upaya modernisasi yang ambisius. CTAS sendiri merupakan tulang punggung reformasi perpajakan yang bertujuan untuk administrasi layanan terintegrasi. Dalam konteks ini, TAE dan SAMS bukan sekadar tambahan, melainkan komponen penting yang menyuntikkan kecerdasan forensik dan kepatuhan proaktif ke dalam sistem inti. Ini berarti keberhasilan CTAS dalam meningkatkan rasio pajak tidak hanya bergantung pada digitalisasi proses, tetapi juga pada kemampuan untuk mengintegrasikan kapabilitas analitis canggih seperti TAE dan SAMS. Kapabilitas ini sangat penting untuk mengatasi masalah kompleks seperti penghindaran pajak dan rendahnya kepatuhan, yang merupakan tantangan utama bagi rasio pajak Indonesia. Oleh karena itu, diskusi mengenai aspek-aspek lain yang relevan menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa integrasi ini melampaui implementasi teknis dan mencapai tujuan strategis penerimaan negara.
Urgensi dari upaya ini semakin terasa mengingat rasio pajak Indonesia yang terus-menerus rendah dibandingkan dengan rata-rata regional dan OECD. Rasio pajak yang rendah ini merupakan masalah mendesak yang secara eksplisit ingin diatasi oleh CTAS dan usulan integrasi TAE-SAMS. Hal ini menunjukkan bahwa “aspek-aspek relevan lainnya” adalah kondisi pendorong dan faktor mitigasi yang diperlukan agar reformasi berisiko tinggi ini berhasil, terutama karena upaya sebelumnya seperti program amnesti pajak dan program pengungkapan sukarela belum optimal dalam meningkatkan kepatuhan pajak jangka panjang. Keterkaitan langsung antara penerimaan pajak dan pembangunan nasional semakin memperkuat urgensi untuk membahas semua aspek yang mendukung keberhasilan reformasi ini.
3. Integrasi Inti: Sinergi TAE dan SAMS dalam CTAS
Mekanisme Integrasi TAE-SAMS untuk Peningkatan Kepatuhan
Persamaan Akuntansi Pajak (TAE) berfungsi sebagai alat akuntansi forensik yang mengadaptasi prinsip-prinsip akuntansi dasar (Aset = Kewajiban + Ekuitas) ke dalam konteks analisis pajak di Indonesia. Fokus utamanya adalah pada hubungan antara pendapatan yang dilaporkan dan perubahan kekayaan bersih perusahaan. TAE dirancang untuk mengidentifikasi inkonsistensi yang mungkin terlewatkan oleh akuntansi tradisional, yang merupakan ciri khas ekonomi bawah tanah.
Di sisi lain, Self-Assessment Monitoring System (SAMS) adalah sistem yang dirancang untuk mengawasi dan menganalisis kewajiban pajak yang dilaporkan sendiri oleh wajib pajak. Prinsip-prinsip SAMS, yang awalnya diterapkan dalam IT dan keamanan siber, menekankan evaluasi diri, identifikasi risiko proaktif, dan peningkatan berkelanjutan.
Integrasi sinergis dari kemampuan forensik TAE dalam kerangka pemantauan proaktif SAMS menciptakan mekanisme internal yang kuat dan berbasis data bagi organisasi untuk mengelola kewajiban pajak dan memitigasi risiko. Integrasi ini memungkinkan analisis berkelanjutan terhadap data keuangan berdasarkan prinsip-prinsip TAE, menghasilkan peringatan untuk setiap ketidaksesuaian yang terdeteksi. CTAS bertindak sebagai platform teknologi sentral di mana data dan informasi yang diperkaya dari TAE-SAMS diintegrasikan secara mulus, memberikan pandangan yang komprehensif dan terpadu tentang kepatuhan wajib pajak kepada petugas pajak. CTAS bertujuan untuk menyederhanakan proses mulai dari pendaftaran hingga audit dan penagihan.
Kemampuan Akuntansi Forensik TAE dalam Mendeteksi Ketidakberesan
Manfaat utama TAE adalah kemampuannya untuk deteksi dini potensi skema penghindaran pajak dengan menandai inkonsistensi antara laporan keuangan dan aktivitas ekonomi aktual. Sebagai contoh, peningkatan aset yang tidak dapat dijelaskan atau pengurangan utang yang signifikan tanpa peningkatan pendapatan yang dilaporkan dapat mengindikasikan aktivitas ekonomi yang tersembunyi.
Penyimpangan dari hubungan yang diharapkan dalam TAE berfungsi sebagai tanda bahaya, memungkinkan otoritas pajak untuk memprioritaskan audit dan investigasi terhadap entitas berisiko tinggi. Pendekatan ini selaras dengan pendekatan kepatuhan berbasis risiko CTAS. Selain itu, TAE dapat memberikan pemahaman tentang skala dan sifat ekonomi bawah tanah dengan mengidentifikasi perbedaan antara data yang dilaporkan dan kewajiban pajak yang diharapkan. Hal ini sangat penting untuk memperluas basis pajak.
Pemantauan Proaktif melalui SAMS dan Informasi Berbasis Data
SAMS, dengan TAE yang tertanam di dalamnya, menggeser manajemen pajak dari pendekatan reaktif menjadi proaktif, memungkinkan masalah diatasi sebelum membesar. Sistem ini mempromosikan akuntabilitas dan evaluasi diri berkelanjutan dalam organisasi. Selain itu, sistem ini dapat mengotomatiskan pemeriksaan kepatuhan dan penilaian risiko, mengurangi upaya manual dan meningkatkan akurasi.
TAE berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan data keuangan mikro-level dengan kepatuhan pajak makro-level. Analisis TAE terhadap laporan keuangan (data mikro-level) bertujuan untuk mendeteksi ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian ini secara langsung terkait dengan aktivitas ekonomi yang tidak dilaporkan dan penghindaran pajak. Pada gilirannya, penghindaran pajak berdampak langsung pada rasio pajak nasional (tujuan makro-level). Oleh karena itu, TAE menyediakan lensa forensik yang terperinci yang dapat menerjemahkan anomali keuangan mikro-level menjadi informasi yang dapat ditindaklanjuti untuk peningkatan penerimaan pajak makro-level, dengan mengidentifikasi “aktivitas ekonomi tersembunyi”. Ini merupakan pendekatan yang lebih canggih dibandingkan metode tradisional.
Keefektifan TAE-SAMS dalam CTAS sangat bergantung pada ketersediaan “data keuangan yang komprehensif” serta “data pajak yang akurat dan andal”. CTAS sendiri bertujuan untuk “administrasi layanan terintegrasi” dan “keterbukaan serta integrasi sistem”. Namun, implementasi awal CTAS menghadapi tantangan “migrasi data yang kompleks” dan “inkonsistensi data”. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsep integrasi sangat kuat, realitasnya memerlukan investasi signifikan dalam tata kelola data, pembersihan data, dan memastikan interoperabilitas yang mulus antara berbagai sumber data (internal DJP, pihak ketiga, dan yang disampaikan wajib pajak). Tanpa data berkualitas tinggi dan terintegrasi, analitik canggih akan terganggu , sehingga membatasi kemampuan penuh TAE dan SAMS.
4. Manfaat Strategis untuk Peningkatan Rasio Pajak Indonesia
Peningkatan Deteksi Penghindaran Pajak dan Ekonomi Bawah Tanah
Kemampuan TAE untuk mengidentifikasi inkonsistensi dalam data keuangan yang dilaporkan secara langsung menargetkan “ekonomi bawah tanah”, yang merupakan sumber signifikan kehilangan pendapatan negara. Integrasi dengan data komprehensif CTAS dan kemampuan AI/ML memungkinkan deteksi pola mencurigakan secara efisien dan dalam skala besar.
Peningkatan Efisiensi dan Transparansi dalam Proses Administrasi Perpajakan
CTAS mengotomatiskan berbagai proses mulai dari pendaftaran hingga audit, mengurangi upaya manual dan potensi kesalahan. Pemantauan waktu nyata dan integrasi data meningkatkan transparansi bagi wajib pajak maupun DGT. Sistem ini bertujuan untuk “proses yang disederhanakan” dan “digitalisasi serta otomatisasi”.
Potensi Optimalisasi Penerimaan Pajak dan Perluasan Basis Pajak
Dengan mendeteksi pendapatan dan aktivitas yang tidak dilaporkan, integrasi TAE-SAMS-CTAS dapat membawa lebih banyak aktivitas ekonomi ke dalam jaringan pajak formal, sehingga memperluas basis pajak. Peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi dan memulihkan pendapatan yang hilang akibat penghindaran pajak secara langsung berkontribusi pada peningkatan rasio pajak. Modernisasi administrasi pajak, termasuk transformasi digital, telah terbukti meningkatkan penerimaan pajak dan kepatuhan.
Pendekatan audit pajak tradisional seringkali bersifat reaktif, dipicu oleh peristiwa tertentu. Kemampuan “deteksi dini” TAE dan “pemantauan proaktif” SAMS, dikombinasikan dengan pendekatan kepatuhan berbasis risiko CTAS , menandakan pergeseran fundamental. Ini berarti DGT dapat beralih dari sekadar mengaudit angka-angka yang dilaporkan menjadi secara aktif mengidentifikasi potensi ketidakpatuhan sebelum hal itu menyebabkan kerugian pendapatan yang signifikan. Hal ini dicapai dengan menggunakan analitik canggih untuk menargetkan wajib pajak berisiko tinggi. Pendekatan proaktif ini sangat penting untuk peningkatan rasio pajak yang berkelanjutan.
Meskipun tujuan utamanya adalah peningkatan pendapatan, data menunjukkan bahwa transformasi digital juga bertujuan untuk membuat perpajakan “lebih mudah dan tidak terlalu membebani wajib pajak”. CTAS menjanjikan layanan yang “lebih mudah, cepat, dan efisien”. Penurunan biaya kepatuhan dan peningkatan kepuasan wajib pajak dapat mengarah pada kepatuhan sukarela yang lebih tinggi. Hal ini membentuk siklus yang positif: kepatuhan yang lebih mudah mendorong lebih banyak wajib pajak untuk patuh, yang pada gilirannya mengurangi kebutuhan akan penegakan hukum yang mahal, selanjutnya meningkatkan efisiensi dan berpotensi memperluas basis pajak. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan CTAS dan komponen-komponen terintegrasinya tidak hanya tentang kemampuan DGT, tetapi juga tentang pengalaman wajib pajak.
5. Tantangan Utama dan Strategi Mitigasi dalam Implementasi
Implementasi CTAS, meskipun menjanjikan, tidak luput dari berbagai tantangan teknis dan operasional yang memerlukan perhatian serius.
Kendala Teknis dan Operasional
- Ketidakstabilan Sistem: CTAS, meskipun diluncurkan pada 1 Januari 2025, telah menerima banyak keluhan dari wajib pajak, termasuk kesulitan mengakses fitur, respons yang lambat, dan seringnya terjadi kesalahan. Masalah spesifik yang dilaporkan meliputi kegagalan login, masalah pendaftaran NPWP, masalah pengiriman OTP, pembaruan profil wajib pajak, dan perubahan data PIC perusahaan dan karyawan. Banyak pengguna juga menghadapi kesulitan dalam melaporkan SPT periodik, menerbitkan faktur pajak, dan menandatangani dengan kode otorisasi DJP atau sertifikat elektronik.
- Migrasi Data yang Kompleks: Proses migrasi volume data sensitif yang besar dari sistem lama ke CTAS sangat kompleks, menyebabkan inkonsistensi dan membutuhkan waktu yang signifikan untuk investigasi dan penyelesaian.
- Keterbatasan Infrastruktur: Keterbatasan infrastruktur digital, terutama di daerah terpencil, menghambat akses ke CTAS yang sangat bergantung pada internet, mempersulit pengumpulan data dan pelaporan.
Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Manajemen Perubahan
- Resistensi terhadap Perubahan: Baik wajib pajak maupun pegawai DGT mungkin menunjukkan resistensi terhadap adopsi proses digital baru.
- Peningkatan Beban Kerja bagi Konsultan/Wajib Pajak: Implementasi awal telah menyebabkan peningkatan beban kerja bagi konsultan pajak yang harus mengelola masalah teknis dan mengedukasi klien.
- Kurangnya Pelatihan/ Pemahaman: Kurangnya kesempatan untuk praktik langsung dan sosialisasi yang tidak merata telah berkontribusi pada kebingungan wajib pajak.
Mengatasi Keluhan Wajib Pajak dan Membangun Kepercayaan
DJP telah mengakui dan meminta maaf atas masalah teknis awal, berkomitmen untuk perbaikan sistem dan membebaskan sanksi atas keterlambatan yang disebabkan oleh kegagalan sistem. Langkah ini krusial untuk menjaga kepercayaan. Komunikasi berkelanjutan dan mekanisme umpan balik sangat penting.
Meskipun CTAS memiliki tujuan strategis yang jelas , peluncuran awalnya telah dihantui oleh masalah teknis dan operasional yang signifikan. “Kesenjangan implementasi” ini menunjukkan bahwa tujuan kebijakan (modernisasi, efisiensi) belum sepenuhnya terwujud dalam realitas operasional. Biaya tinggi CTAS (Rp 3,1 triliun) semakin memperkuat kebutuhan akan penyelesaian masalah yang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan teknis, pengujian penerimaan pengguna, dan manajemen perubahan yang kuat sama pentingnya dengan desain sistem itu sendiri.
Keluhan dan ketidakstabilan sistem secara langsung menyebabkan “penurunan tingkat kepuasan klien” dan “peningkatan beban kerja”. Jika wajib pajak merasa sistem baru ini membuat frustrasi atau tidak dapat diandalkan, hal ini dapat mengikis kepercayaan mereka terhadap DGT dan berpotensi menurunkan kepatuhan sukarela, yang pada akhirnya merusak tujuan reformasi itu sendiri. Komitmen DGT untuk membebaskan sanksi adalah langkah jangka pendek yang diperlukan, tetapi keberhasilan jangka panjang membutuhkan stabilitas fundamental dan kemudahan penggunaan. Ini menunjukkan bahwa tantangan saat ini bukan hanya gangguan teknis, tetapi juga menimbulkan risiko strategis terhadap kredibilitas DGT dan agenda reformasi pajak secara keseluruhan.
Tabel 1: Tantangan Implementasi CTAS dan Strategi Mitigasi yang Diusulkan
Kategori Tantangan | Tantangan Spesifik | Dampak | Snippet Terkait | Strategi Mitigasi yang Diusulkan | Snippet Pendukung Mitigasi |
---|---|---|---|---|---|
Teknis & Operasional | Ketidakstabilan Sistem | Penurunan tingkat layanan, peningkatan beban kerja, frustrasi wajib pajak | Pengujian pra-implementasi yang ditingkatkan, resolusi bug berkelanjutan, optimalisasi kapasitas sistem | ||
Teknis & Operasional | Migrasi Data yang Kompleks | Inkonsistensi data, proses pelaporan tertunda, risiko kesalahan | Tata kelola data yang kuat, pembersihan data, memastikan interoperabilitas yang mulus | ||
Teknis & Operasional | Keterbatasan Infrastruktur | Hambatan akses sistem, kesulitan pengumpulan data dari daerah terpencil | Investasi pada infrastruktur digital yang merata, penyediaan alternatif akses | ||
Sumber Daya Manusia & Manajemen Perubahan | Resistensi terhadap Perubahan | Adopsi sistem yang lambat, penurunan efisiensi kerja | Manajemen perubahan yang komprehensif, komunikasi manfaat yang jelas | ||
Sumber Daya Manusia & Manajemen Perubahan | Peningkatan Beban Kerja Awal | Penurunan kualitas layanan konsultan/wajib pajak, fokus teralihkan | Pelatihan intensif, panduan pengguna yang jelas, dukungan teknis responsif | ||
Sumber Daya Manusia & Manajemen Perubahan | Kurangnya Pelatihan/Pemahaman | Kebingungan wajib pajak, kesalahan pelaporan | Sosialisasi yang intensif dan merata, penyediaan simulator uji coba | ||
Kepercayaan Wajib Pajak | Penurunan Kepuasan/Kepercayaan | Potensi penurunan kepatuhan sukarela, kerusakan reputasi DGT | Komunikasi transparan, penanganan keluhan yang responsif, komitmen perbaikan sistem |
6. Pemanfaatan Teknologi Canggih: AI, Pembelajaran Mesin, dan Analitik Data
Peran dalam Manajemen Kepatuhan Berbasis Risiko dan Analitik Prediktif
Direktorat Jenderal Pajak (DGT) memandang Kecerdasan Buatan (AI) sebagai kekuatan transformatif yang dapat membentuk kembali sistem perpajakan menjadi lebih cerdas, adil, dan efisien, dengan memperkuat potensi manusia daripada menggantikannya. AI memiliki kemampuan untuk menganalisis kumpulan data besar guna mendeteksi penipuan atau kesalahan pajak, serta memprediksi perilaku wajib pajak untuk audit berbasis risiko. Ini termasuk identifikasi pola atau ketidaksesuaian yang tidak biasa (deteksi anomali).
AI/ML meningkatkan kerangka Manajemen Risiko Kepatuhan (CRM) yang sudah ada yang digunakan oleh DJP. CRM menggunakan peta risiko berdasarkan kemungkinan ketidakpatuhan dan dampak fiskal. AI dapat menghasilkan data prediktif untuk analitik mendalam guna mengatasi perencanaan pajak yang agresif. DJP telah menggunakan alat seperti SmartWeb (analitik grafik untuk memvisualisasikan jaringan wajib pajak dan risiko ketidakpatuhan) dan Ability to Pay (ATP) (indikator prediktif kemampuan membayar wajib pajak) dalam kerangka CRM-nya.
Peningkatan Kemampuan Audit Pajak Forensik melalui AI/ML
AI dapat memantau wajib pajak selama audit pajak dan meningkatkan efisiensi serta akurasi deteksi penipuan. Akuntansi forensik, yang didukung oleh AI, dapat melacak aliran keuangan ilegal dan mengungkap skema penghindaran pajak yang kompleks. Solusi berbasis AI terus belajar dari aktivitas penipuan baru, menyesuaikan parameter deteksi, dan meningkatkan kemampuan prediktif.
TAE menyediakan metodologi untuk analisis forensik. AI/ML menyediakan kekuatan komputasi untuk menerapkan metodologi ini pada “kumpulan data besar” dan mengidentifikasi “anomali halus” atau “korelasi tersembunyi” yang mungkin terlewatkan oleh manusia. Sinergi ini berarti AI tidak hanya mengotomatiskan proses yang ada; AI memungkinkan tingkat deteksi dan analisis prediktif yang sama sekali baru. Hal ini sangat penting untuk secara efektif memerangi penghindaran dan penggelapan pajak yang canggih, sehingga bertindak sebagai pengganda kekuatan bagi kemampuan penegakan hukum DGT.
Tantangan dan Pertimbangan Etis dalam Adopsi AI
Meskipun AI menawarkan manfaat yang sangat besar, terdapat kekhawatiran mengenai “penggunaan data warga yang tidak dapat dibenarkan,” “sistem AI yang tidak transparan,” dan “kurangnya akuntabilitas”. Laporan OECD menekankan perlunya “penjelasan model dan transparansi”. Dalam sistem penilaian mandiri seperti di Indonesia, di mana wajib pajak bertanggung jawab atas kepatuhan mereka sendiri, keputusan yang dibuat oleh AI (misalnya, penandaan untuk audit) harus dapat dibenarkan dan dipahami untuk menjaga kepercayaan dan memastikan keadilan. Ini menunjukkan bahwa sekadar mengimplementasikan AI tidaklah cukup; DGT harus berinvestasi dalam teknik “Explainable AI (XAI)” untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang bagaimana keputusan dibuat, sehingga membina kepercayaan publik dan mendukung kepatuhan regulasi. Ini merupakan pertimbangan etis dan praktis yang penting untuk adopsi jangka panjang dan penerimaan publik.
Tantangan lain dalam adopsi AI meliputi risiko keamanan dan privasi data karena AI memerlukan akses ke data wajib pajak yang sensitif, yang menimbulkan risiko kebocoran atau penyalahgunaan data jika tidak dilindungi dengan baik. Selain itu, biaya implementasi yang tinggi dan kebutuhan akan personel AI yang terampil merupakan tantangan signifikan. Diperlukan pula kerangka hukum yang jelas untuk tata kelola dan akuntabilitas AI.
7. Kerangka Hukum dan Regulasi yang Mendukung Integrasi
Tinjauan PMK 81/2024 dan PMK 15/2025 dalam Implementasi CTAS
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81 Tahun 2024, yang berlaku efektif 1 Januari 2025, mengimplementasikan CTAS dan menyederhanakan berbagai ketentuan administrasi pajak. Ini mencakup pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan secara elektronik, prosedur pendaftaran yang disederhanakan, dan penyetaraan tanggal jatuh tempo pembayaran pajak. Tujuan utama PMK ini adalah memberikan kepastian hukum dan mendukung pengawasan yang efektif.
Sementara itu, PMK No. 15 Tahun 2025, yang berlaku efektif 14 Februari 2025, merevisi prosedur audit pajak. Peraturan ini memperkenalkan jenis audit baru (Komprehensif, Terfokus, Spesifik), menetapkan jangka waktu audit, dan memperluas kriteria audit. PMK ini menyediakan kerangka hukum tentang bagaimana informasi berbasis data dari CTAS akan diterjemahkan menjadi tindakan audit.
Kepatuhan terhadap Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP No. 27/2022)
Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada 17 Oktober 2022, yang menyediakan kerangka komprehensif untuk perlindungan data pribadi. UU ini mencakup pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, dan pengungkapan data. Data keuangan wajib pajak diklasifikasikan sebagai “data pribadi spesifik” di bawah UU PDP, yang memerlukan perlindungan ketat.
Sebagai pengendali data, DJP memiliki kewajiban untuk memastikan keamanan data, memperoleh persetujuan, dan menyediakan mekanisme bagi hak-hak subjek data. Namun, terdapat kekhawatiran mengenai kurangnya regulasi spesifik untuk sektor pajak, tidak adanya otoritas perlindungan data khusus, dan pelatihan karyawan yang tidak memadai, yang berpotensi membuat data wajib pajak yang sensitif rentan.
Dasar Hukum Akses Data dan Forensik Digital dalam Penegakan Pajak
Pemerintah memiliki kewenangan untuk meminta data keuangan dari lembaga keuangan dan instansi lain (ILAP) untuk kepentingan perpajakan, sesuai dengan UU No. 9 Tahun 2017. Indonesia juga berpartisipasi dalam Pertukaran Informasi Otomatis (AEOI).
DJP melakukan kegiatan forensik digital berdasarkan peraturan perundang-undangan (misalnya, SE-36/PJ/2017) dan praktik terbaik, mendukung investigasi dan pemeriksaan bukti permulaan. Prosedur ini mencakup akuisisi, pemrosesan, analisis, dan pelaporan data. Bukti digital yang diperoleh melalui prosedur forensik dianggap sah di pengadilan.
Keberhasilan CTAS, terutama dengan fitur-fitur canggih seperti TAE dan analitik berbasis AI, sangat bergantung pada wajib pajak yang memberikan data yang akurat dan komprehensif. Namun, data ini sangat sensitif. Keberadaan UU PDP menyediakan kerangka hukum umum untuk perlindungan data, tetapi kekhawatiran tentang “kurangnya regulasi spesifik… yang disesuaikan dengan sektor pajak” dan “pelatihan karyawan yang tidak memadai” menciptakan kesenjangan ketidakpastian hukum. Jika wajib pajak merasa data mereka rentan atau disalahgunakan, hal itu akan mengikis kepercayaan, yang merupakan dimensi kunci kepatuhan pajak. Oleh karena itu, kerangka hukum tidak hanya harus memungkinkan pemrosesan data tetapi juga menjamin perlindungan dan akuntabilitas yang kuat untuk menumbuhkan kepercayaan yang diperlukan bagi kepatuhan sukarela dan adopsi sistem secara penuh.
Evolusi pesat teknologi digital menuntut kerangka hukum yang tangkas dan responsif. Situasi saat ini, di mana undang-undang PDP umum ada tetapi regulasi spesifik pajak masih kurang, menunjukkan potensi ketertinggalan. Agar CTAS dapat sepenuhnya memanfaatkan AI dan analitik canggih, kerangka hukum perlu secara eksplisit membahas masalah seperti akuntabilitas algoritma, protokol berbagi data di dalam pemerintah, dan pertukaran data lintas batas di era digital. Ini menunjukkan bahwa DGT dan Kementerian Keuangan memerlukan peta jalan regulasi proaktif yang mengantisipasi kemajuan teknologi daripada hanya bereaksi terhadapnya, memastikan kepastian hukum sejalan dengan inovasi digital.
8. Perspektif Internasional dan Praktik Terbaik
Pelajaran dari Transformasi Pajak Digital di OECD dan Negara Berkembang
Transformasi digital administrasi pajak merupakan tren global, yang melampaui sekadar digitalisasi menjadi pemikiran ulang proses yang terintegrasi ke dalam perangkat dan perangkat lunak wajib pajak. Transformasi digital yang berhasil telah menghasilkan peningkatan signifikan dalam rasio pajak terhadap PDB (misalnya, peningkatan dua kali lipat di Tiongkok), pengurangan biaya kepatuhan, peningkatan kepuasan wajib pajak , peningkatan efisiensi, dan deteksi penipuan yang lebih baik.
Contoh-contoh termasuk Inggris (HMRC Connect untuk pendapatan yang tidak dilaporkan), AS (pembelajaran mesin IRS untuk penipuan), Singapura (analitik prediktif), dan Australia (asisten virtual bertenaga AI). Sistem PPN Rwanda juga menggunakan analitik data besar untuk pemantauan kepatuhan. Faktor-faktor keberhasilan utama meliputi kapasitas kelembagaan yang kuat, staf yang terdidik dan terlatih, pendanaan yang memadai untuk komputerisasi, statistik data yang andal , serta reformasi kebijakan dan legislatif yang menyertainya.
Analisis Komparatif Sistem Pajak Terintegrasi dan Alat Forensik Global
Meskipun sistem AS kompleks dan terdesentralisasi di tingkat negara bagian, sistem pajak Indonesia umumnya lebih terintegrasi. Namun, IRS AS menggunakan pembelajaran mesin untuk deteksi penipuan. Akuntansi forensik berkembang pesat di AS dan Kanada, dengan perkembangan yang lebih lambat di Eropa, Oseania, dan Asia. Alat seperti FraudFindr mengotomatiskan deteksi penipuan dengan menganalisis transaksi keuangan. BDO menawarkan layanan akuntansi forensik komprehensif untuk kepatuhan regulasi, penipuan, dan pencucian uang. Studi kasus di Malaysia menunjukkan bahwa peningkatan probabilitas deteksi audit menghasilkan kepatuhan pelaporan yang secara signifikan lebih tinggi.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa transformasi digital yang berhasil adalah proses berkelanjutan. Rencana DGT untuk CTAS mencakup “tahapan percontohan di wilayah terpilih” dan ajakan untuk implementasi “bertahap”. Ini selaras dengan rekomendasi “mulai dari yang kecil, skalakan dengan bijak, uji coba solusi AI sebelum diperluas secara nasional” dari DJP sendiri. Tantangan yang dihadapi Indonesia menggarisbawahi perlunya belajar dari fase awal, mengadaptasi sistem, dan memastikan kesiapan pengguna sebelum penerapan nasional penuh, seperti yang terlihat dalam rencana modernisasi multi-tahun negara lain.
Meskipun teknologi adalah pendorong utama, pengalaman internasional menyoroti bahwa “peningkatan pendapatan sangat bergantung pada kebijakan, legislasi, dan reformasi administrasi yang menyertainya, serta ketersediaan konektivitas digital yang memadai dan sumber daya manusia yang cakap”. Negara-negara berkembang, khususnya, menghadapi tantangan dengan “staf yang terdidik dan terlatih dengan baik” dan “statistik yang andal”. Ini menunjukkan bahwa upaya Indonesia harus melampaui pembangunan CTAS dan integrasi TAE/SAMS. Hal ini memerlukan investasi signifikan dalam pelatihan petugas pajak, peningkatan kualitas data di sumbernya, dan pembinaan budaya literasi digital dan kepatuhan di seluruh ekosistem, termasuk wajib pajak dan konsultan.
Tabel 2: Tinjauan Komparatif Keberhasilan Administrasi Pajak Digital (Contoh Internasional)
Negara | Inisiatif Sistem Digital/Terintegrasi Utama | Dampak pada Rasio Pajak/Kepatuhan | Faktor Keberhasilan Utama/Pelajaran yang Dipetik | Snippet Terkait |
---|---|---|---|---|
Tiongkok | Program Modernisasi Administrasi Pajak | Rasio pajak terhadap PDB meningkat dua kali lipat, mengurangi biaya kepatuhan, meningkatkan kepuasan wajib pajak | Reformasi bertahap, pembagian lembaga pajak, fokus pada efisiensi dan kepuasan wajib pajak | |
Inggris | “Connect” (Sistem AI) | Mendeteksi pendapatan yang tidak dilaporkan, meningkatkan kepatuhan | Analisis data besar dari berbagai sumber, sistem AI yang belajar dan beradaptasi | |
Amerika Serikat | Pembelajaran Mesin IRS | Mengungkap pencurian identitas dan penipuan pengembalian dana | Pemanfaatan AI untuk analisis data besar dan prediksi perilaku wajib pajak | |
Singapura | Analitik Prediktif | Menargetkan ketidakpatuhan, dukungan SME dengan alat berbasis AI | Penggunaan analitik prediktif untuk manajemen risiko kepatuhan | |
Australia | Asisten Virtual Bertenaga AI | Menangani jutaan pertanyaan wajib pajak, meningkatkan akses layanan | Otomatisasi dukungan wajib pajak melalui chatbot AI | |
Malaysia | Sistem Penilaian Mandiri (SAS) | Peningkatan kepatuhan pelaporan (probabilitas audit yang meningkat) | Peningkatan fungsi penegakan pajak, probabilitas deteksi audit yang lebih tinggi | |
Rwanda | Analitik Data Besar (VAT) | Peningkatan kepatuhan PPN | Penggunaan analitik data besar untuk pemantauan kepatuhan | |
Global (IMF) | Digitalisasi Sektor Korporasi (GovTech) | Peningkatan penerimaan pajak hingga 3% dari PDB, peningkatan kepatuhan di wajib pajak berisiko tinggi | Sinergi antara digitalisasi perusahaan dan administrasi pajak, memperluas basis pajak |
9. Indikator Kinerja Utama (KPI) untuk Mengukur Keberhasilan
Untuk mengukur keberhasilan integrasi TAE-SAMS dalam CTAS dan dampaknya terhadap rasio pajak, diperlukan serangkaian Indikator Kinerja Utama (KPI) yang komprehensif. KPI ini harus bersifat SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound).
Metrik untuk Menilai Peningkatan Rasio Pajak
- Rasio Pajak (Tax-to-GDP Ratio): Ini adalah ukuran paling langsung dari keberhasilan keseluruhan, menunjukkan porsi PDB yang dikumpulkan sebagai pajak.
- Persentase Realisasi Target Pendapatan Negara/Penerimaan Pajak: Perbandingan antara penerimaan aktual dengan target yang ditetapkan.
- Pertumbuhan Penerimaan Pajak (non-PPh migas): Metrik pertumbuhan spesifik untuk aliran pendapatan utama.
Indikator untuk Kepatuhan, Efisiensi Operasional, dan Tingkat Deteksi Penipuan
- Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak: Diukur dari ketepatan waktu pelaporan, ketepatan waktu pembayaran, dan keakuratan pelaporan. Ini mencakup kepatuhan formal dan material.
- Akurasi SPT: Persentase SPT yang diajukan tanpa kesalahan atau kelalaian.
- Hasil Audit: Hasil audit pajak yang mengungkapkan area ketidakpatuhan.
- Tingkat Deteksi Penipuan (FDR): Persentase kasus penipuan yang teridentifikasi secara akurat.
- Tingkat Kesalahan Negatif (FNR): Persentase kasus penipuan aktual yang tidak terdeteksi.
- Metrik Efisiensi: Tingkat otomatisasi, waktu penyelesaian proses kepatuhan pajak, dan pengurangan waktu pemrosesan.
- Akurasi Profil Risiko: Efektivitas mesin risiko dalam mengidentifikasi wajib pajak berisiko tinggi.
- Pengurangan Kesenjangan Pajak: Perbedaan antara pajak yang terutang dan pajak yang dibayar.
Kerangka untuk Pemantauan dan Evaluasi Berkelanjutan
KPI harus ditinjau dan disesuaikan secara berkala untuk menyelaraskan dengan tujuan bisnis yang berkembang dan persyaratan pajak. Pemanfaatan teknologi untuk pengumpulan, analisis, dan pelaporan data KPI sangat penting.
Meskipun pertanyaan berfokus pada “peningkatan rasio pajak,” keberhasilan integrasi CTAS dan TAE-SAMS tidak dapat hanya diukur dengan target pendapatan. Data menunjukkan berbagai KPI di luar sekadar pengumpulan, termasuk tingkat kepatuhan, hasil audit, tingkat deteksi penipuan, dan metrik efisiensi. Hal ini menunjukkan pergeseran menuju kerangka kinerja yang lebih holistik yang menangkap kualitas kepatuhan dan efisiensi administrasi, bukan hanya kuantitas pendapatan. Pandangan yang lebih luas ini sangat penting untuk peningkatan berkelanjutan dan mencerminkan pendekatan administrasi pajak modern.
KPI tidak hanya untuk pelaporan; KPI adalah “alat untuk mengubah proses audit” dan membuat “keputusan yang terinformasi”. Aspek “umpan balik” dan “tinjau dan sesuaikan” dari manajemen KPI sangat penting. Jika CTAS mengidentifikasi anomali, DGT perlu memiliki kapasitas untuk menindaklanjuti informasi ini. Ini menunjukkan bahwa kerangka pengukuran harus dirancang tidak hanya untuk melaporkan kinerja tetapi untuk mendorong peningkatan berkelanjutan dan penyesuaian kebijakan berdasarkan data waktu nyata, memastikan bahwa sistem benar-benar “berbasis data dan pengetahuan”.
Tabel 3: Indikator Kinerja Utama untuk Kepatuhan Pajak dan Peningkatan Pendapatan
Kategori KPI | KPI Spesifik | Deskripsi/Definisi | Relevansi dengan TAE-SAMS-CTAS | Snippet Terkait |
---|---|---|---|---|
Pendapatan | Rasio Pajak (Tax-to-GDP Ratio) | Persentase PDB yang dikumpulkan sebagai pajak | Indikator langsung dampak keseluruhan integrasi | |
Pendapatan | Persentase Realisasi Target Penerimaan Pajak | Perbandingan penerimaan aktual dengan target yang ditetapkan | Mengukur efektivitas dalam mencapai tujuan penerimaan | |
Kepatuhan | Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak | Persentase wajib pajak yang melaporkan dan membayar tepat waktu serta akurat | Peningkatan deteksi ketidakpatuhan melalui TAE-SAMS | |
Kepatuhan | Akurasi SPT | Persentase SPT yang diajukan tanpa kesalahan atau kelalaian | Otomatisasi dan validasi data oleh CTAS, deteksi anomali TAE | |
Kepatuhan | Hasil Audit Pajak | Hasil audit yang mengungkapkan area ketidakpatuhan | Efektivitas CTAS dalam mengidentifikasi wajib pajak berisiko tinggi | |
Efisiensi Operasional | Waktu Pemrosesan SPT/Layanan | Durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses kepatuhan pajak | Efisiensi yang dihasilkan dari otomatisasi CTAS | |
Efisiensi Operasional | Tingkat Otomatisasi | Persentase tugas administrasi pajak yang ditangani oleh sistem otomatis | Indikator efisiensi sistem CTAS | |
Deteksi Penipuan | Tingkat Deteksi Penipuan (FDR) | Persentase kasus penipuan yang teridentifikasi secara akurat | Kemampuan forensik TAE yang diperkuat AI/ML | |
Deteksi Penipuan | Tingkat Kesalahan Negatif (FNR) | Persentase kasus penipuan aktual yang tidak terdeteksi | Mengukur celah dalam sistem deteksi penipuan | |
Manajemen Risiko | Akurasi Profil Risiko Kepatuhan | Efektivitas sistem dalam mengidentifikasi wajib pajak berisiko tinggi | Peningkatan CRM oleh AI/ML dan data dari TAE-SAMS | |
Manajemen Risiko | Pengurangan Kesenjangan Pajak | Perbedaan antara pajak terutang dan pajak yang dibayar | Dampak kumulatif dari peningkatan deteksi dan kepatuhan |
10. Rekomendasi untuk Implementasi Optimal dan Dampak Berkelanjutan
Untuk memastikan keberhasilan optimal dan dampak berkelanjutan dari integrasi TAE-SAMS dalam CTAS terhadap peningkatan rasio pajak Indonesia, beberapa rekomendasi strategis perlu diimplementasikan secara komprehensif.
Peningkatan Kebijakan dan Regulasi
Pemerintah perlu mengembangkan regulasi spesifik untuk perlindungan data pribadi dalam sektor pajak, melengkapi UU PDP yang ada. Regulasi ini harus secara jelas membahas pemrosesan data, pembagian data, dan keamanan data dalam konteks CTAS. Selain itu, penetapan pedoman tata kelola dan akuntabilitas AI yang jelas sangat penting untuk memastikan transparansi dan mengatasi potensi bias dalam keputusan berbasis AI. Tinjauan dan pembaruan berkelanjutan terhadap undang-undang pajak (misalnya, PMK 81/2024, PMK 15/2025) juga diperlukan untuk menyelaraskan dengan kemampuan CTAS dan realitas ekonomi yang berkembang.
Infrastruktur Teknologi dan Optimalisasi Sistem
Prioritas utama harus diberikan pada stabilisasi dan penyelesaian bug CTAS untuk memastikan pengalaman pengguna yang mulus sebelum penerapan nasional penuh. Pendekatan implementasi bertahap dengan proyek percontohan dapat membantu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah secara terkontrol. Investasi pada infrastruktur digital yang kuat, terutama di daerah terpencil, sangat penting untuk memastikan akses yang merata dan konektivitas yang andal bagi semua wajib pajak. Selain itu, implementasi kerangka tata kelola data yang kuat dan manajemen kualitas data diperlukan untuk memastikan akurasi, konsistensi, dan interoperabilitas data di seluruh sistem terintegrasi.
Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Program pelatihan yang komprehensif dan berkelanjutan bagi petugas DGT mengenai CTAS, TAE, SAMS, dan alat analitik/AI canggih harus menjadi prioritas. Kampanye sosialisasi dan edukasi bagi wajib pajak perlu diintensifkan dan didiversifikasi, menyediakan panduan praktis dan akses simulator untuk menumbuhkan pemahaman dan adopsi. Pembentukan mekanisme umpan balik yang jelas bagi wajib pajak dan konsultan pajak untuk melaporkan masalah dan memberikan masukan untuk penyempurnaan sistem juga krusial. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan inovator teknologi harus didorong untuk peningkatan berkelanjutan.
Tata Kelola Data dan Protokol Keamanan
Implementasi langkah-langkah keamanan siber canggih untuk melindungi data wajib pajak yang sensitif dalam CTAS, termasuk enkripsi, kontrol akses, dan penilaian kerentanan rutin, sangat penting. Pengembangan protokol yang jelas untuk respons dan pemberitahuan pelanggaran data, sejalan dengan UU PDP, juga diperlukan. Pertimbangan untuk menunjuk petugas/otoritas perlindungan data khusus untuk sektor pajak dapat lebih memperkuat kerangka perlindungan.
Rekomendasi ini mencakup kebijakan, teknologi, sumber daya manusia, dan keamanan data, menunjukkan bahwa keberhasilan integrasi TAE-SAMS-CTAS bukanlah proyek IT yang berdiri sendiri, melainkan memerlukan upaya yang tersinkronisasi dan multidimensi di seluruh ekosistem pajak. Mengabaikan salah satu aspek (misalnya, teknologi yang kuat tetapi sumber daya manusia yang lemah, atau analitik canggih tanpa privasi data yang kuat) dapat merusak seluruh reformasi. Ini merupakan pendekatan “seluruh pemerintah” yang meluas ke wajib pajak dan konsultan.
Secara berulang, data menunjukkan pentingnya “kepercayaan”. Masalah awal CTAS telah “mengikis kepercayaan publik” dan “menurunkan kepuasan klien”. Rekomendasi seperti AI yang transparan, perlindungan data yang kuat, dan komunikasi yang efektif semuanya bertujuan untuk membangun kembali dan mempertahankan kepercayaan ini. Ini menunjukkan bahwa di luar efisiensi teknis dan pengumpulan pendapatan, DGT harus secara aktif membina hubungan yang positif dan kolaboratif dengan wajib pajak untuk mendorong kepatuhan sukarela, yang merupakan tujuan akhir untuk peningkatan rasio pajak yang berkelanjutan. Kepercayaan bukan hanya hasil sampingan, melainkan hasil strategis.
11. Kesimpulan
Integrasi Persamaan Akuntansi Pajak (TAE) dan Self-Assessment Monitoring System (SAMS) dalam Sistem Inti Administrasi Perpajakan (CTAS) memiliki potensi transformatif yang signifikan untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia. Analisis ini menunjukkan bahwa sinergi antara kemampuan forensik TAE, pemantauan proaktif SAMS, dan platform terintegrasi CTAS dapat secara fundamental mengubah administrasi pajak di Indonesia, beralih dari pendekatan reaktif menjadi proaktif dalam deteksi penghindaran pajak dan peningkatan kepatuhan. Hal ini tidak hanya akan mengoptimalkan penerimaan negara dan memperluas basis pajak, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan transparansi sistem perpajakan secara keseluruhan.
Namun, keberhasilan implementasi dan dampak berkelanjutan dari reformasi ini sangat bergantung pada penanganan tantangan yang teridentifikasi secara strategis. Ini mencakup stabilisasi sistem dan optimalisasi infrastruktur teknologi, pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang komprehensif, penguatan kerangka hukum untuk perlindungan data pribadi dan akuntabilitas AI, serta, yang terpenting, pembangunan dan pemeliharaan kepercayaan wajib pajak. Dengan belajar dari praktik terbaik internasional dan menerapkan pendekatan ekosistem yang holistik, Indonesia dapat mengatasi kesenjangan implementasi dan memastikan bahwa inovasi teknologi ini benar-benar mewujudkan potensi penuhnya.
Pada akhirnya, reformasi terintegrasi ini, jika dilaksanakan secara strategis dan adaptif, dapat membuka jalan bagi sistem pajak yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih efisien di Indonesia, memberikan kontribusi signifikan terhadap tujuan pembangunan nasional.