Analisis Komprehensif Perubahan Sistem Perpajakan di Indonesia: Badan Penerimaan Negara, Peradilan Pajak Administratif, dan Peradilan Pidana Perpajakan Khusus

Jakarta, taxjusticenews.com:
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang dan Urgensi Reformasi Perpajakan di Indonesia
Reformasi perpajakan merupakan serangkaian perubahan signifikan dan komprehensif yang diterapkan pada sistem perpajakan suatu negara. Di Indonesia, perubahan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi pajak, penyesuaian tarif pajak, hingga perubahan lapisan penghasilan kena pajak. Upaya ini didorong oleh kebutuhan mendesak untuk memperkuat fondasi fiskal negara dan meningkatkan kemandirian ekonomi. Pajak sendiri adalah sumber pendapatan negara yang paling dominan dan menjadi indikator krusial bagi kemandirian suatu bangsa.
Meskipun pajak memiliki peran sentral, Indonesia masih menghadapi tantangan substansial dalam mencapai potensi penerimaan pajaknya. Rasio pajak Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 10,21%, angka ini jauh di bawah rekomendasi Bank Dunia sebesar 15% yang dianggap ideal untuk negara berkembang. Selain itu, masalah pelanggaran pajak masih terus bermunculan, menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi pendapatan pajak dan realisasi yang terkumpul.
Menanggapi kondisi ini, reformasi perpajakan telah menjadi agenda berkelanjutan bagi pemerintah Indonesia. Sejak tahun 1983, reformasi ini telah melalui beberapa fase, dengan fase terbaru (Jilid III) dimulai pada tahun 2017 dan berlanjut hingga saat ini. Reformasi ini tidak hanya berfokus pada perubahan regulasi semata, tetapi juga menyentuh lima pilar utama: organisasi, sumber daya manusia (SDM), proses bisnis, teknologi informasi dan basis data, serta peraturan perundang-undangan. Pendekatan komprehensif ini mencerminkan pemahaman bahwa permasalahan perpajakan di Indonesia bukan hanya terletak pada kerangka hukum, tetapi juga pada kapasitas administratif dan kelembagaan untuk menegakkan serta mengelola sistem pajak secara efektif. Pergeseran paradigma ini mengindikasikan pengakuan bahwa reformasi yang bersifat parsial di masa lalu, meskipun bermanfaat, belum sepenuhnya mengatasi inefisiensi struktural dan administratif yang mendasar. Oleh karena itu, upaya saat ini diarahkan pada perombakan fundamental cara administrasi dan pengumpulan pajak dilakukan, dengan tujuan mewujudkan institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel.
Tujuan utama dari reformasi ini adalah untuk meningkatkan tingkat kepatuhan pajak, memberikan kenyamanan bagi Wajib Pajak (WP) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta memperbarui sistem pajak agar selalu relevan dengan isu-isu terkini dan kemajuan teknologi. Dengan menyesuaikan sistem pajak dengan kondisi masyarakat dan perekonomian negara, diharapkan kasus pelanggaran pajak dapat berkurang secara signifikan, dan penerimaan negara dapat dioptimalkan untuk membiayai pembangunan nasional secara mandiri.
B. Tujuan dan Ruang Lingkup Laporan
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif perubahan sistem perpajakan di Indonesia. Fokus utama laporan ini adalah pada tiga pilar reformasi yang krusial: pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai entitas kelembagaan baru, reformasi Peradilan Pajak Administratif yang menekankan penguatan independensi, dan kekhususan Peradilan Pidana Perpajakan Khusus dalam penegakan hukum.
Ruang lingkup analisis meliputi tinjauan konsep masing-masing pilar, status legislasi terkini, implikasi hukum dan administratif yang timbul dari perubahan tersebut, serta pandangan ahli dan respons publik terhadap inisiatif reformasi ini. Laporan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam mengenai arah dan dampak perubahan sistem perpajakan di Indonesia bagi para pemangku kepentingan.
II. Badan Penerimaan Negara (BPN) : Transformasi Kelembagaan Perpajakan
A. Konsep dan Tujuan Pembentukan BPN
1. Rasionalisasi dan Target Peningkatan Rasio Pajak
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) merupakan bagian integral dari strategi reformasi kelembagaan perpajakan di Indonesia. Inisiatif ini didasarkan pada kondisi saat ini di mana Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebagai unit eselon satu di bawah Kementerian Keuangan, belum mampu mencapai target rasio pajak yang direkomendasikan oleh Bank Dunia sebesar 15% dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2023, rasio pajak Indonesia bahkan tercatat turun menjadi 10,21%.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 12/2025 dan ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto, menetapkan target ambisius untuk meningkatkan rasio penerimaan negara hingga 23% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2029. Selain itu, RPJMN juga menargetkan penambahan wajib pajak hingga 90% dan tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan mencapai 100% pada tahun yang sama.
Target peningkatan rasio pajak yang signifikan ini, dari sekitar 10% menjadi 23%, menunjukkan bahwa pembentukan BPN tidak hanya bertujuan untuk efisiensi administratif semata, tetapi juga merupakan strategi makroekonomi yang vital untuk mencapai kemandirian fiskal yang lebih besar. Adanya urgensi politik dan ekonomi yang kuat di balik reformasi kelembagaan ini, yang mengindikasikan bahwa pemerintah memandang BPN sebagai instrumen kunci untuk mendongkrak penerimaan negara secara fundamental, mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan lain, dan mendukung pembangunan nasional secara lebih mandiri.
2. Perbandingan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) beroperasi sebagai unit eselon satu di bawah Kementerian Keuangan, dipimpin oleh seorang direktur jenderal, dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Tugas utama DJP adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang perpajakan, yang meliputi fungsi perumusan kebijakan, koordinasi kegiatan, pengelolaan organisasi, kepegawaian, keuangan, serta pemeriksaan dan penagihan.
Wacana pembentukan BPN melibatkan pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan, menjadikannya sebuah badan yang bersifat semi-otonom atau Semi-Autonomous Revenue Agency (SARA). Perbedaan mendasar antara DJP saat ini dan model BPN yang diusulkan terletak pada tingkat fleksibilitas. BPN diharapkan memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam hal remunerasi pegawai, pengelolaan sumber daya manusia, integrasi proses bisnis administrasi pajak, dan pengelolaan anggaran.
Transformasi dari DJP menjadi BPN sebagai badan semi-otonom merupakan upaya untuk mengatasi “fragmentasi fiskal” yang saat ini terjadi. Fragmentasi ini timbul karena kewenangan penerimaan negara tersebar di berbagai direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan, seperti DJP, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), serta kementerian/lembaga lain yang mengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dispersi kewenangan ini dapat menyebabkan inefisiensi, kebocoran penerimaan, dan kurangnya koordinasi dalam kebijakan dan data. Oleh karena itu, BPN diusulkan sebagai solusi untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi pengumpulan penerimaan negara menjadi satu entitas yang lebih modern, efisien, dan adaptif, terutama dalam menghadapi perkembangan ekonomi digital. Konsolidasi ini diharapkan dapat menciptakan satu otoritas yang kuat dengan mandat yang jelas untuk mengoptimalkan seluruh aspek penerimaan negara, bukan hanya pajak, sehingga mengatasi inefisiensi sistemik yang ada.
B. Model Kelembagaan dan Struktur BPN
1. Status Semi-Otonom dan Implikasi Administratif
Model kelembagaan BPN yang diusulkan adalah sebagai badan semi-otonom, yang memberikan fleksibilitas lebih besar dalam manajemen sumber daya manusia dan anggaran dibandingkan dengan DJP saat ini. Fleksibilitas ini diharapkan dapat menarik dan mempertahankan pegawai yang lebih profesional dengan remunerasi yang lebih baik. Namun, status semi-otonom ini juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi “penyalahgunaan kekuasaan” (abuse of power). Oleh karena itu, otonomi yang lebih besar perlu diimbangi dengan mekanisme pengawasan eksternal yang kuat dan independen, serta struktur kepemimpinan kolektif untuk menjaga akuntabilitas dan melindungi hak wajib pajak.
Landasan hukum untuk pembentukan BPN memerlukan perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Meskipun demikian, pengalaman dari negara lain seperti Peru dengan SUNAT (Superintendencia Nacional de Aduanas y de Administración Tributaria) menunjukkan bahwa meskipun sebuah lembaga semi-otonom, BPN masih memerlukan koordinasi dan pengambilan keputusan yang melibatkan Kementerian Keuangan. Ini menunjukkan bahwa otonomi penuh mungkin tidak sepenuhnya tercapai, dan hubungan yang harmonis dengan Kementerian Keuangan tetap krusial.
2. Aspek Sumber Daya Manusia dan Proses Bisnis
Pembentukan BPN diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme pegawai melalui remunerasi yang lebih kompetitif dan pengelolaan pegawai yang lebih fleksibel. Selain itu, BPN akan fokus pada integrasi proses bisnis administrasi pajak. Reformasi perpajakan secara umum telah berupaya menyederhanakan proses bisnis agar lebih efektif dan efisien melalui perampingan, pengurangan langkah-langkah manual, dan pemanfaatan teknologi untuk menghilangkan duplikasi.
Integrasi proses bisnis dan pemanfaatan teknologi dalam BPN merupakan langkah penting untuk mengatasi inefisiensi dan fragmentasi data yang menjadi kelemahan DJP sebelumnya. DJP di masa lalu menghadapi masalah seperti pendaftaran wajib pajak yang kurang terpusat, minimnya pemanfaatan teknologi informasi, dan kurangnya sistem monitoring pegawai. Dengan BPN, diharapkan sistem yang lebih terpusat, berbasis data, dan otomatis dapat diciptakan, yang akan meningkatkan kualitas analisis dan pelaporan. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi tidak hanya bersifat struktural tetapi juga operasional, dengan tujuan menciptakan sistem yang lebih terintegrasi dan digitized untuk mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik dan pelayanan yang lebih efisien kepada wajib pajak.
C. Status Legislasi dan Perkembangan Terkini Pembentukan BPN
Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) secara resmi tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 12/2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, yang telah ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto. Perpres ini mengindikasikan adanya komitmen politik yang kuat untuk mewujudkan BPN sebagai bagian dari upaya peningkatan rasio penerimaan negara.
Meskipun sudah diamanatkan dalam Perpres, pengamat masih menilai bahwa pembentukan BPN belum tampak serius dan belum akan terlaksana pada awal tahun ini. Hal ini menunjukkan adanya potensi tantangan politik atau birokrasi dalam mewujudkan reformasi kelembagaan yang fundamental ini. Landasan hukum yang spesifik untuk pendirian BPN memerlukan perubahan UU KUP. Meskipun Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021 telah diundangkan dan mengubah beberapa ketentuan UU KUP, UU HPP tidak secara langsung membentuk BPN. Ini mengindikasikan bahwa proses legislasi untuk BPN masih memerlukan langkah hukum yang lebih konkret dan terpisah, kemungkinan berupa undang-undang tersendiri atau perubahan UU KUP yang lebih spesifik mengenai pembentukan BPN.
Ketergantungan pada perubahan UU KUP yang belum secara eksplisit membentuk BPN dalam UU HPP menunjukkan adanya celah dalam proses legislasi. Celah ini bisa disebabkan oleh kompleksitas reformasi kelembagaan, potensi resistensi dari struktur birokrasi yang ada (misalnya, keengganan Kementerian Keuangan untuk melepaskan kendali), atau kebutuhan akan undang-undang yang lebih spesifik untuk BPN. Oleh karena itu, meskipun visi pembentukan BPN sudah jelas, jalur menuju realisasinya masih menghadapi hambatan legislatif dan implementasi yang memerlukan komitmen politik berkelanjutan di luar sekadar peraturan presiden.
D. Pandangan Ahli dan Respons Publik terhadap Pembentukan BPN
1. Potensi Manfaat dan Tantangan
Pembentukan BPN diharapkan membawa sejumlah manfaat signifikan bagi sistem perpajakan Indonesia. Manfaat utama yang diidentifikasi meliputi peningkatan profesionalisme pegawai melalui remunerasi yang lebih baik dan pengelolaan SDM yang lebih fleksibel, serta integrasi proses bisnis administrasi pajak yang lebih efisien. Para ahli memandang bahwa BPN dapat membuka peluang untuk pembaruan fiskal menyeluruh dan menciptakan sistem pengumpulan penerimaan negara yang lebih modern, efisien, dan adaptif, khususnya dalam menghadapi perkembangan ekonomi digital.
Namun, potensi manfaat ini juga diiringi dengan tantangan serius. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi “penyalahgunaan kekuasaan” (abuse of power) akibat otonomi yang lebih besar. Oleh karena itu, para ahli menekankan pentingnya pembentukan lembaga pengawasan eksternal yang independen. Selain itu, ada pandangan bahwa pembentukan BPN saja tidak secara otomatis menjamin peningkatan rasio pajak; keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen kuat dari pemerintah dalam implementasinya.
2. Isu Pengawasan dan Perlindungan Hak Wajib Pajak
Perdebatan seputar pembentukan BPN menyoroti dilema klasik dalam reformasi kelembagaan: bagaimana menyeimbangkan efisiensi yang didorong oleh otonomi dengan akuntabilitas melalui pengawasan. Untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan, diusulkan sistem pimpinan kolektif yang melibatkan wakil dari asosiasi pengusaha, akademisi, konsultan pajak, dan pemerintah. Penguatan regulasi juga dianggap penting untuk memastikan fungsi pengawasan berjalan efektif dan independen.
Respons publik dan pandangan ahli yang menekankan perlindungan hak wajib pajak dan pengawasan independen mencerminkan kekhawatiran historis terhadap potensi dominasi otoritas pajak. Ini menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan BPN harus disertai dengan reformasi budaya dan etika dalam administrasi pajak. Selain itu, peningkatan kapasitas litigasi wajib pajak juga diperlukan untuk menciptakan sistem yang benar-benar berkeadilan dan meningkatkan kepatuhan sukarela. Lembaga penyelesaian sengketa antara BPN dan wajib pajak harus menjamin keadilan, transparansi, dan tanpa dominasi otoritas BPN. Keberhasilan BPN tidak hanya bergantung pada struktur barunya, tetapi juga pada desain tata kelola yang memitigasi risiko penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan perlindungan hak wajib pajak, yang pada akhirnya akan membangun kepercayaan publik dan mendorong kepatuhan.
Tabel 1: Perbandingan DJP dan Model BPN yang Diusulkan
Kriteria | DJP Saat Ini | BPN yang Diusulkan |
---|---|---|
Status Kelembagaan | Unit eselon satu di bawah Kementerian Keuangan | Badan semi-otonom (SARA) |
Pembinaan/Pelaporan | Di bawah Kementerian Keuangan | Langsung kepada Presiden (target) |
Fleksibilitas SDM | Terbatas | Lebih fleksibel |
Fleksibilitas Anggaran | Terbatas | Lebih fleksibel |
Tujuan Utama | Merumuskan & melaksanakan kebijakan pajak | Peningkatan rasio pajak & efektivitas penerimaan |
Landasan Hukum | UU KUP | Perubahan UU KUP, Perpres 12/2025 |
III. Peradilan Pajak Administratif : Penguatan Independensi dan Kepastian Hukum
A. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Pajak
1. Tugas dan Yurisdiksi dalam Sengketa Pajak
Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus yang memiliki peran vital dalam sistem perpajakan Indonesia. Lembaga ini melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Tugas dan wewenang utamanya adalah memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
Sengketa pajak memiliki karakteristik penyelesaian yang spesifik dan berbeda dibandingkan sengketa hukum lainnya. Kekhususan ini berkaitan erat dengan sifat pajak sebagai sumber penerimaan negara yang krusial. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa pajak memerlukan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana untuk menjamin kepastian hukum dan efisiensi. Keberadaan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan khusus menunjukkan pengakuan negara terhadap kompleksitas dan kepentingan fiskal yang melekat pada sengketa pajak, yang memerlukan keahlian spesifik dan mekanisme yang disesuaikan.
2. Prosedur Banding dan Gugatan
Dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak, terdapat dua upaya hukum utama yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak: Banding dan Gugatan.
- Banding: Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. Tenggang waktu pengajuan banding adalah 3 bulan sejak tanggal diterimanya keputusan keberatan yang dibandingkan. Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali diatur lain oleh peraturan perundang-undangan.
- Gugatan: Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. Jangka waktu pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
Dalam proses persidangan, Pengadilan Pajak dapat meminta Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dari terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya Surat Banding atau Surat Gugatan. Pihak yang bersengketa dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus, asalkan memenuhi persyaratan kompetensi tertentu di bidang perpajakan.
Salah satu kekhususan signifikan dari Pengadilan Pajak adalah bahwa putusannya bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta tidak mengenal upaya hukum kasasi. Upaya hukum yang tersedia setelah putusan Pengadilan Pajak adalah Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, yang merupakan upaya hukum luar biasa. Ketiadaan kasasi ini menunjukkan prioritas pada kecepatan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan pertanyaan mengenai potensi konsistensi yurisprudensi dan mekanisme pengawasan tertinggi atas putusan, meskipun adanya jalur Peninjauan Kembali memberikan kesempatan untuk koreksi terhadap kesalahan hukum yang fundamental. Untuk meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas, ketentuan mengenai e-Tax Court telah diatur dalam Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER-1/PP/2023.
B. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023
1. Pergeseran Pembinaan dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023, pembinaan Pengadilan Pajak berada di bawah dua lembaga yang berbeda. Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA), sementara pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan).
Sistem pembinaan ganda ini menimbulkan dualisme dan memunculkan kesan keberpihakan. Kementerian Keuangan, sebagai lembaga eksekutif, juga menaungi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang merupakan salah satu pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak. Situasi ini dianggap bertentangan dengan prinsip nemo judex in sua causa (tidak seorang pun boleh menjadi hakim dalam perkaranya sendiri) dan prinsip “sistem satu atap” peradilan, yang menghendaki semua urusan peradilan berada di bawah satu atap Mahkamah Agung. Adanya pengaruh eksekutif terhadap lembaga yudikatif dapat mengikis independensi hakim dan kredibilitas putusan Pengadilan Pajak.
Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 merupakan langkah fundamental dalam menegakkan prinsip Trias Politica dan independensi yudikatif di Indonesia. Putusan ini mengabulkan permohonan judicial review terhadap Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan frasa “Departemen Keuangan” inkonstitusional bersyarat. Artinya, frasa tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, yang akan dilaksanakan secara bertahap selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2026. Pergeseran pembinaan dari eksekutif ke yudikatif secara penuh ini menunjukkan komitmen konstitusional untuk memastikan bahwa lembaga peradilan, termasuk Pengadilan Pajak, bebas dari intervensi pihak lain yang memiliki kekuasaan, sehingga mengatasi konflik kepentingan yang melekat pada sistem sebelumnya.
2. Integrasi ke Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Selain pergeseran pembinaan, Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 juga memiliki implikasi penting lainnya: Pengadilan Pajak secara formal masuk ke dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Keputusan ini didasarkan pada pemahaman bahwa sengketa pajak merupakan salah satu bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Integrasi ini secara formal memperkuat karakter administratif dari sengketa pajak. Hal ini dapat mendorong harmonisasi prinsip-prinsip hukum administrasi negara dalam penyelesaian sengketa pajak dengan sengketa administratif lainnya yang ditangani oleh PTUN. Potensi konsistensi dalam penegakan hukum tata usaha negara secara lebih luas dapat tercipta, karena sengketa pajak akan diatur dalam kerangka yang lebih koheren dengan cabang peradilan administrasi lainnya. Integrasi ini juga diharapkan dapat mengatasi masalah kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di Pengadilan Pajak, terutama ahli hukum pajak, dengan memungkinkan akses ke sumber daya yang lebih luas di lingkungan PTUN.
C. Dampak terhadap Independensi Peradilan Pajak dan Prinsip “Satu Atap”
Transfer kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak sepenuhnya ke Mahkamah Agung diharapkan dapat secara signifikan meningkatkan independensi yudisial Pengadilan Pajak. Langkah ini bertujuan untuk menghilangkan keraguan dan persepsi keberpihakan yang sebelumnya muncul akibat pembinaan ganda oleh Kementerian Keuangan. Dengan demikian, keadilan dalam penanganan kasus sengketa pajak diharapkan dapat lebih terjamin.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga menyelaraskan kedudukan Pengadilan Pajak dengan prinsip “sistem satu atap” yang diamanatkan oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Prinsip ini menegaskan bahwa seluruh urusan peradilan, termasuk organisasi, administrasi, dan keuangan, harus berada di bawah satu payung Mahkamah Agung. Hal ini memperkuat konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang esensial bagi negara hukum demokratis, memastikan bahwa peradilan bebas dari intervensi dan pengaruh pihak eksternal atau pihak lain yang memiliki kekuasaan.
Meskipun putusan MK secara struktural menguatkan independensi Pengadilan Pajak, implementasi praktisnya hingga batas waktu 31 Desember 2026 akan menjadi kunci keberhasilan. Proses transisi ini melibatkan harmonisasi budaya kerja, sistem administrasi, dan standar sumber daya manusia antara Kementerian Keuangan yang sebelumnya membina dan Mahkamah Agung yang akan mengambil alih. Keberhasilan reformasi ini akan sangat bergantung pada kelancaran transisi dan komitmen semua pihak untuk menjaga marwah (dignity) peradilan. Transisi yang mulus akan memastikan bahwa perubahan struktural ini benar-benar diterjemahkan menjadi peningkatan independensi fungsional dan kepercayaan publik terhadap Pengadilan Pajak.
D. Tantangan dan Prospek Masa Depan Peradilan Pajak Administratif
Meskipun Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 membawa angin segar bagi independensi Pengadilan Pajak, beberapa tantangan tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah terkait kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, khususnya ahli hukum pajak. Terdapat kekhawatiran bahwa hakim-hakim di Pengadilan Pajak seringkali merupakan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Meskipun mereka memiliki keahlian di bidang perpajakan, latar belakang ini dapat menimbulkan persepsi bias institusional, bahkan setelah secara struktural Pengadilan Pajak berada di bawah Mahkamah Agung.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pengembangan program kaderisasi hakim pajak yang independen dan memiliki keahlian mendalam di bidang hukum pajak dan administrasi negara, yang tidak terpengaruh oleh bias institusional sebelumnya. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak berkurang selama dan setelah proses transisi.
Prospek masa depan Peradilan Pajak Administratif, dengan adanya penguatan independensi ini, adalah terciptanya peradilan pajak yang lebih adil, cepat, dan sederhana, sejalan dengan asas-asas peradilan yang berlaku. Peningkatan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem penyelesaian sengketa pajak akan menjadi salah satu dampak positif yang diharapkan, yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan kepatuhan sukarela.
Tabel 2: Ringkasan Implikasi Putusan MK 26/PUU-XXI/2023 terhadap Pengadilan Pajak
Aspek | Sebelum Putusan MK 26/PUU-XXI/2023 | Setelah Putusan MK 26/PUU-XXI/2023 |
---|---|---|
Pembinaan Organisasi, Administrasi, dan Keuangan | Kementerian Keuangan | Mahkamah Agung |
Pembinaan Teknis Yudisial | Mahkamah Agung | Mahkamah Agung |
Kedudukan Kelembagaan | Dualisme Kewenangan | Terintegrasi ke lingkungan PTUN di bawah MA |
Prinsip yang Ditegakkan | Rentan konflik kepentingan (nemo judex in sua causa) | Independensi Yudisial, Sistem Satu Atap |
Batas Waktu Implementasi | Tidak ada | Selambat-lambatnya 31 Desember 2026 |
IV. Peradilan Pidana Perpajakan Khusus : Penegakan Hukum yang Berkeadilan
A. Kekhususan Hukum Pidana Perpajakan
1. Asas Ultimum Remedium dan Penerapannya
Hukum pidana perpajakan di Indonesia memiliki kekhususan yang membedakannya dari ketentuan hukum pidana pada umumnya. Kekhususan ini terutama terlihat pada penerapan asas ultimum remedium, yang berarti pidana merupakan upaya terakhir. Dalam konteks perpajakan, asas ini diimplementasikan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi wajib pajak untuk melunasi kerugian pada pendapatan negara beserta sanksi administratifnya. Pelunasan ini bertujuan untuk mengeliminasi potensi pemidanaan.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa tujuan utama penegakan hukum pidana di bidang perpajakan adalah pemulihan kerugian negara (fungsi budgeter pajak) daripada semata-mata penjatuhan sanksi pidana (fungsi retributif). Ini menciptakan sistem hukum pidana yang bersifat hibrida, di mana penyelesaian finansial dapat menggantikan proses pemidanaan. Dengan kata lain, upaya pemidanaan baru dilakukan setelah semua upaya administratif yang telah dilaksanakan tidak efektif. Prioritas fiskal ini tercermin dalam ketentuan yang memungkinkan penghentian penyidikan atau bahkan tuntutan tanpa pidana penjara jika kerugian negara telah dilunasi.
2. Subjek dan Objek Tindak Pidana Perpajakan (Orang Pribadi dan Korporasi)
Subjek tindak pidana perpajakan tidak hanya terbatas pada Orang Pribadi (naturaliijk persoon), tetapi juga mencakup Badan (recht persoon) atau korporasi, serta pihak lain. Pengakuan korporasi sebagai subjek tindak pidana perpajakan menunjukkan adaptasi hukum pidana terhadap kompleksitas kejahatan ekonomi modern. Dalam kasus tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan baik kepada korporasinya maupun secara bersama-sama dengan pegawainya secara pribadi (tanggung renteng).
Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada korporasi terbatas pada denda dan pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim/pengadilan. Hal ini karena pidana mati, pidana penjara, dan pidana kurungan tidak dapat dijatuhkan atau dikenakan pada korporasi sesuai dengan Pasal 10 KUHP. Tindak pidana perpajakan, baik yang dilakukan oleh orang pribadi maupun korporasi, pada dasarnya menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Penegakan hukum yang mampu menembus “tirai korporasi” menjadi krusial untuk memulihkan kerugian negara secara efektif dan memberikan efek jera yang lebih luas.
B. Perkembangan Regulasi dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan PMK 17/2025
1. Mekanisme Penghentian Penyidikan dan Pelunasan di Persidangan
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021 memperkenalkan dan memperkuat mekanisme yang memungkinkan penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan. UU HPP menganut konsep pembetulan dan pengungkapan ketidakbenaran yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 44A. Mekanisme ini memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi, yang dapat langsung menghentikan penyidikan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan.
Selain itu, penyidikan juga dapat dihentikan demi kepentingan penerimaan negara atas permintaan Menteri Keuangan kepada Jaksa Agung. Penghentian ini hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya. Lebih lanjut, Pasal 44 ayat (2a) UU HPP mengatur bahwa pelunasan pajak di persidangan dapat menjadi pertimbangan bagi penuntut umum untuk menuntut terdakwa tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 17/2025 lebih lanjut mengatur secara detail proses penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. PMK ini mencakup prosedur penyidikan, hak dan kewajiban tersangka, kewenangan penyidik dalam melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pencegahan ke luar negeri, serta mekanisme penghentian penyidikan. Mekanisme penghentian penyidikan dan pelunasan di persidangan yang diatur dalam UU HPP dan PMK 17/2025 ini memperkuat pendekatan restorative justice dalam hukum pidana perpajakan. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum lebih berfokus pada pemulihan keuangan negara dan menjamin kepatuhan perpajakan di masa depan, daripada hanya menekankan pada penjatuhan hukuman retributif. Pendekatan ini menciptakan insentif bagi wajib pajak untuk kooperatif dan memulihkan kerugian negara, sekaligus mengurangi beban proses peradilan pidana.
2. Sanksi Administratif dan Pidana Denda
Dalam kerangka hukum pidana perpajakan, wajib pajak yang melunasi kerugian negara tetap dikenakan sanksi administratif berupa denda. Besaran denda ini bervariasi, mulai dari satu hingga empat kali jumlah kerugian pada pendapatan negara atau pajak terutang, tergantung pada pasal yang dilanggar.
Salah satu kekhususan penting yang diatur dalam UU HPP adalah ketentuan bahwa pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana. Ketentuan ini menandai penguatan penekanan pada pemulihan kerugian negara dalam penegakan hukum pidana perpajakan. Hal ini secara eksplisit mencegah pelaku menghindari kewajiban finansial dengan memilih hukuman penjara, sehingga memastikan bahwa kerugian fiskal benar-benar dipulihkan. Namun, UU HPP juga menyediakan ketentuan bahwa dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, ia dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara yang diputus. Ini menjadi upaya terakhir untuk menegakkan kewajiban finansial.
C. Konsep Delik Berantai dalam Konteks Perpajakan dan Kaitannya dengan TPPU/Korupsi
Dalam hukum pidana, delik berantai didefinisikan sebagai tindak pidana yang disyaratkan dilakukan secara berulang untuk dapat dipidana. Dalam konteks perpajakan, tindak pidana tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran tunggal, tetapi seringkali merupakan bagian dari skema kejahatan yang lebih besar. Tindak pidana perpajakan dapat menjadi pencetus terjadinya tindak pidana pencucian uang (TPPU). Misalnya, perbuatan menyembunyikan asal usul harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana perpajakan dapat dikategorikan sebagai TPPU.
Selain itu, tindak pidana korupsi di bidang perpajakan dapat dijatuhkan baik kepada Wajib Pajak maupun Petugas Pajak (Fiskus). Keterkaitan antara tindak pidana perpajakan dengan delik berantai, TPPU, dan korupsi menunjukkan bahwa kejahatan pajak seringkali bukan insiden terisolasi, melainkan bagian dari kejahatan ekonomi yang lebih luas dan terorganisir. Hal ini mengindikasikan perlunya pendekatan penegakan hukum yang terintegrasi dan multidisiplin.
Untuk menelusuri aliran dana dan memulihkan aset secara komprehensif, diperlukan koordinasi yang erat antarlembaga penegak hukum, seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kepolisian, Kejaksaan, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Penanganan kasus-kasus ini membutuhkan investigasi yang canggih, termasuk pemanfaatan teknologi forensik digital, untuk membongkar jaringan kejahatan dan memastikan pemulihan kerugian negara secara maksimal.
D. Mekanisme Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (NCB Asset Forfeiture)
1. Dasar Hukum dan Urgensi RUU Perampasan Aset
Perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture atau NCB asset forfeiture) adalah konsep hukum yang pertama kali berkembang di negara-negara common law, seperti Amerika Serikat. Mekanisme ini memungkinkan negara untuk menyita harta hasil kejahatan tanpa harus melalui proses pengadilan pidana terhadap pelakunya. Konsep ini didasarkan pada prinsip fundamental keadilan bahwa suatu kejahatan tidak boleh memberikan keuntungan bagi pelakunya (crime should not pay).
Urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di Indonesia semakin menguat karena aturan yang ada saat ini belum optimal dalam merampas aset pelaku korupsi dan kejahatan ekonomi. Proses pidana konvensional seringkali tidak efektif dalam mengembalikan aset hasil kejahatan, terutama ketika pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau sulit dibuktikan kesalahannya secara individual. Oleh karena itu, pendekatan in rem (terhadap aset itu sendiri) menjadi krusial untuk mengatasi keterbatasan ini. RUU Perampasan Aset telah resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029, menandakan komitmen legislatif untuk mengadopsi mekanisme ini.
2. Prosedur dan Implikasi Pemulihan Kerugian Negara
Mekanisme NCB asset forfeiture diawali dengan tindakan pemblokiran dan penarikan harta yang diduga merupakan hasil kejahatan dari lalu lintas perekonomian, yaitu melalui penyitaan yang dimintakan kepada pengadilan. Setelah penyitaan, aset tersebut kemudian dinyatakan sebagai aset yang “tercemar” melalui putusan pengadilan, diikuti dengan pengumuman publik mengenai status aset tersebut melalui media massa selama jangka waktu tertentu.
Proses ini bersifat perdata dan tidak memerlukan adanya putusan pidana terlebih dahulu. Namun, mekanisme ini mengharuskan adanya bukti yang kuat bahwa aset tersebut merupakan hasil dari tindak pidana atau telah tercemar oleh tindak pidana. Pihak ketiga yang merasa keberatan dengan tindakan perampasan dapat mengajukan perlawanan ke pengadilan dengan membawa alat bukti yang sah untuk membuktikan bahwa dialah pemilik harta itu dan menjelaskan bagaimana perolehan harta tersebut.
Tujuan utama dari perampasan aset tanpa pemidanaan adalah untuk mencegah pelaku kejahatan memperoleh keuntungan dari tindakan melawan hukum yang dilakukannya dan untuk memulihkan kerugian negara. Implementasi NCB asset forfeiture akan memiliki implikasi signifikan terhadap hak properti dan beban pembuktian. Meskipun bertujuan untuk memulihkan kerugian negara, mekanisme ini menempatkan beban pada pemilik aset untuk membuktikan keabsahan perolehan asetnya. Hal ini dapat menimbulkan tantangan bagi individu yang tidak terlibat langsung dalam tindak pidana tetapi asetnya diduga “tercemar.” Oleh karena itu, diperlukan kerangka hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik, memastikan bahwa pengejaran pemulihan aset tidak mengorbankan keadilan atau stabilitas ekonomi.
E. Tantangan dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan
Penanganan tindak pidana perpajakan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah kompleksitas modus operandi penggelapan pajak yang semakin canggih. Pelaku seringkali memanfaatkan celah hukum dan teknologi untuk menyamarkan jejak kejahatan mereka.
Selain itu, kurangnya koordinasi antarinstansi penegak hukum, seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kepolisian, dan Kejaksaan, sering menjadi hambatan dalam penyidikan kasus-kasus perpajakan. Keterbatasan sumber daya manusia yang profesional dan berkompeten, serta kurangnya penguasaan teknologi investigasi seperti forensik digital, juga menjadi kendala signifikan. Meskipun berbagai upaya penegakan hukum telah dilakukan, kasus pidana perpajakan masih sering terjadi setiap tahun.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa reformasi hukum pidana perpajakan tidak akan efektif tanpa penguatan kapasitas kelembagaan dan kolaborasi lintas sektor. Diperlukan investasi berkelanjutan dalam pelatihan sumber daya manusia, pengembangan teknologi forensik digital, dan pembentukan tim gabungan yang terintegrasi untuk mengatasi kejahatan ekonomi yang semakin canggih. Peningkatan koordinasi dan kolaborasi antarlembaga penegak hukum sangat penting untuk menciptakan alur investigasi dan penuntutan yang mulus, bergerak melampaui kerangka hukum semata menuju kapabilitas implementasi yang praktis dan efektif.
Tabel 3: Kekhususan Penegakan Hukum Pidana Perpajakan (UU HPP & PMK 17/2025)
Aspek Kekhususan | Keterangan |
---|---|
Asas Penegakan Hukum | Ultimum Remedium (prioritas pemulihan kerugian negara) |
Subjek Pelaku | Orang Pribadi dan Korporasi |
Objek Kerugian | Kerugian pada Pendapatan Negara |
Sanksi Pidana Denda | Tidak dapat diganti kurungan (kecuali tidak ada harta yang mencukupi) |
Mekanisme Penghentian Perkara | Pengungkapan Ketidakbenaran/Pelunasan Utang Pajak |
Persidangan | Dapat dilakukan In Absentia (tanpa kehadiran terdakwa) dan larangan pidana bersyarat |
Tabel 4: Status Legislasi RUU Terkait Sistem Perpajakan (BPN, Perampasan Aset)
Rancangan Undang-Undang | Status Terkini | Keterangan Tambahan |
---|---|---|
RUU Pembentukan Badan Penerimaan Negara | Tercantum dalam Perpres 12/2025 (RPJMN 2025-2029) | Belum ada UU khusus BPN; membutuhkan perubahan UU KUP sebagai landasan hukum |
RUU Perampasan Aset | Resmi masuk Prolegnas 2025-2029 | Naskah pertama disusun pada 2008, masuk Prolegnas Prioritas 2023 ; diperlukan untuk optimalisasi perampasan aset hasil kejahatan ekonomi |
V. Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Ringkasan Temuan Kunci
Sistem perpajakan di Indonesia tengah mengalami reformasi komprehensif yang menyentuh tiga pilar utama: kelembagaan, peradilan administratif, dan penegakan hukum pidana. Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) diusulkan sebagai langkah transformasi kelembagaan untuk mengatasi fragmentasi fiskal dan meningkatkan rasio penerimaan negara secara signifikan. BPN dirancang sebagai badan semi-otonom yang diharapkan membawa fleksibilitas operasional dan peningkatan profesionalisme, meskipun memerlukan pengawasan yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan melindungi hak wajib pajak.
Di sisi peradilan administratif, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023 telah secara fundamental mengubah kedudukan Pengadilan Pajak. Putusan ini mengalihkan sepenuhnya pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung, serta mengintegrasikannya ke dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Langkah ini bertujuan untuk menguatkan independensi yudisial Pengadilan Pajak dan mengatasi dualisme pembinaan yang sebelumnya menimbulkan potensi konflik kepentingan.
Dalam ranah penegakan hukum pidana, hukum pidana perpajakan memiliki kekhususan yang menonjol. Penerapan asas ultimum remedium menjadi sentral, dengan fokus utama pada pemulihan kerugian negara melalui pelunasan pajak dan sanksi administratif, yang dapat mengeliminasi atau memitigasi pemidanaan. Selain itu, sistem ini mengakui pertanggungjawaban korporasi dan sedang mengembangkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture) untuk mengatasi kejahatan ekonomi yang kompleks dan terorganisir, termasuk yang terkait dengan pencucian uang dan korupsi.
B. Implikasi Menyeluruh bagi Sistem Perpajakan Indonesia
Perubahan-perubahan ini memiliki implikasi yang mendalam bagi sistem perpajakan Indonesia secara keseluruhan. Pembentukan BPN berpotensi menciptakan kerangka pengumpulan penerimaan negara yang lebih modern, efisien, dan akuntabel, yang sangat krusial untuk mencapai kemandirian fiskal dan mendukung pembangunan nasional. Peningkatan independensi peradilan pajak, yang diwujudkan melalui Putusan MK, diharapkan akan meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem penyelesaian sengketa, mendorong kepatuhan sukarela, dan memperkuat kepastian hukum.
Sementara itu, penegakan hukum pidana perpajakan yang lebih komprehensif, termasuk melalui mekanisme perampasan aset, akan memperkuat upaya pemulihan kerugian negara dan memberikan efek jera yang lebih efektif terhadap pelaku kejahatan pajak dan ekonomi. Integrasi antara hukum pajak, hukum pidana, dan hukum pencucian uang menunjukkan bahwa kejahatan ekonomi dipandang sebagai isu multidimensional yang memerlukan respons hukum yang terpadu.
Secara keseluruhan, reformasi ini mencerminkan upaya serius pemerintah untuk membangun sistem perpajakan yang tidak hanya efektif dalam mengumpulkan penerimaan, tetapi juga berkeadilan, transparan, dan mampu beradaptasi dengan dinamika ekonomi modern dan kompleksitas kejahatan keuangan.
C. Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Lanjut
Berdasarkan analisis komprehensif terhadap perubahan sistem perpajakan di Indonesia, berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan dan langkah lanjut yang dapat dipertimbangkan:
-
Untuk Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN):
- Finalisasi Landasan Hukum: Pemerintah perlu segera memfinalisasi landasan hukum yang kuat dan spesifik untuk pembentukan BPN, idealnya dalam bentuk undang-undang tersendiri, bukan hanya mengandalkan perubahan UU KUP. Hal ini akan memberikan kepastian hukum dan legitimasi yang kokoh bagi lembaga baru ini.
- Desain Tata Kelola yang Akuntabel: Desain tata kelola BPN harus mencakup mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang independen serta struktur kepemimpinan kolektif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (seperti asosiasi pengusaha, akademisi, dan konsultan pajak). Ini penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan akuntabilitas serta perlindungan hak wajib pajak.
- Pengembangan SDM dan Teknologi: Prioritaskan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia yang profesional dan berintegritas tinggi, serta implementasi teknologi informasi yang terintegrasi. Hal ini akan mendukung proses bisnis yang efisien, meningkatkan kualitas data, dan memfasilitasi pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak.
-
Untuk Peradilan Pajak Administratif:
- Transisi Pembinaan yang Mulus: Pastikan transisi penuh pembinaan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung berjalan mulus sesuai batas waktu 31 Desember 2026, dengan alokasi sumber daya yang memadai (anggaran, personel, infrastruktur). Koordinasi erat antara Kementerian Keuangan dan Mahkamah Agung sangat diperlukan.
- Kaderisasi Hakim Independen: Kembangkan program kaderisasi hakim pajak yang independen dan memiliki keahlian mendalam di bidang hukum pajak dan administrasi negara. Ini akan mengurangi ketergantungan pada mantan pejabat DJP dan memperkuat persepsi serta substansi independensi yudisial.
- Optimalisasi e-Tax Court: Perkuat implementasi dan pemanfaatan sistem e-Tax Court untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan aksesibilitas proses peradilan pajak bagi wajib pajak di seluruh Indonesia.
-
Untuk Peradilan Pidana Perpajakan Khusus:
- Kolaborasi Antarlembaga : Tingkatkan koordinasi dan kolaborasi antarlembaga penegak hukum (DJP, Kepolisian, Kejaksaan, PPATK) melalui pembentukan tim gabungan dan berbagi informasi yang efektif. Ini krusial untuk menangani kasus tindak pidana perpajakan yang kompleks dan terkait dengan TPPU atau korupsi.
- Percepatan RUU Perampasan Aset : Percepat pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset. Dalam perumusannya, pastikan adanya perlindungan hukum yang memadai bagi pihak ketiga yang beritikad baik, sambil tetap memberikan kewenangan yang kuat bagi negara untuk memulihkan aset hasil kejahatan.
- Peningkatan Kapasitas Investigasi : Investasi berkelanjutan dalam pelatihan penyidik dan penuntut umum mengenai modus operandi kejahatan pajak yang canggih dan penggunaan teknologi forensik digital. Hal ini akan meningkatkan kemampuan penegak hukum dalam membongkar dan menindak kejahatan ekonomi yang semakin kompleks.