Badan Penerimaan Negara Kenakan Pajak Orang Kaya?
Jakarta – taxjusticenews.com:
Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Prof. Burhanuddin Abdullah mengungkapkan pemerintah Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan memanfaatkan badan atau kementerian penerimaan negara untuk mencari sumber pendapatan baru.
Adapun, sumber penerimaan terbaru itu salah satunya adalah pajak atas harta kekayaan crazy rich atau orang super kaya. Burhanuddin menjelaskan desain APBN 2025 sebetulnya kurang memberi ruang untuk melakukan percepatan pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, pihak Prabowo menilai perlu unit khusus untuk memperdalam sumber pendapatan negara.
“Mungkin kita bisa lihat waktu kementerian penerimaan negara terjadi saya ingin ada di sana satu sel yang khususkan diri bagaimana perdalam masalah keuangan kita,” ucapnya dalam UOB Economic Outlook 2024, di Hotel Kempinski, Jakarta, dikutip Senin (30/9/2024).
Adapun, kebijakan wealth tax ini bisa memberikan tambahan cuan bagi negara. Pengenaan pajak 2% terhadap harta 50 orang terkaya di Indonesia saja bisa menghasilkan penerimaan negara Rp 81,56 triliun. Angka itu merupakan hasil penghitungan Tim peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam “Laporan Ketimpangan Ekonomi di Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin”.
Basis perhitungannya ialah akumulasi kekayaan 50 triliuner Indonesia versi Forbes 2023 sebesar US$ 251,73 miliar atau senilai Rp 4.078 Triliun (kurs dollar US$1 sama dengan Rp 16.200) yang dikenakan pajak 2% sesuai rekomendasi G20.*)
Praktisi perpajakan Dr. Dr(c) Joko Ismuhadi Soewarsono, S.E., M.M yang ditemui Amanda Valerina dari fiskusnews grup mengatakan bahwa pengenaan pajak atas harta kekayaan Highnet Wealth Individual (HWI) atau Ultranet Wealth Individual (UWI), kenapa ada kata “net” karena ini kelompok Wajib Pajak Orang Pribadi pemilik usaha sebagai penikmat kekayaan bersih dari korporasinya, cukup optimalkan saja ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh yang mengatur:”Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak“. Artinya penghasilan dari para crazy rich ini sudah terlanjur terakumulasi menjadi kekayaan, diatur saja secara khusus misalnya dikenakan 2% berfinal final.
UU PPh memberi ruang akan pengenaan pajak dari akun neraca yaitu delta atau tambahan retained earning yang selama ini tidak dilaporkan secara benar. Hal ini bisa juga diterapkan ke korporasi atau wajib pajak badan.
Jadi tidak perlu lagi dibuat RUU Pajak Kekayaan, ini kembali ke jaman dulu sebelum tax reform pertama kali tahun 1988 yang pernah kita kenal Pajak Kekayaan (PKk), ini artinya kembali ke masa lalu. “Menurut saya tidak perlu-lah dibuat RUU Pajak Kekayaan, justru yang krusial dibentuknya RUU KUP, konsekuensi logis terbentuknya Badan Penerimaan Negara setingkat Kementerian dan RUU Pidana Pajak yang terpisah dari KUP sebagai ketentuan formil perpajakan”, demikian pungkasnya tegas.
Reporter: Amanda Valerina
*) Sumber: CNBC Indonesia