Bagaimanakah Nasib UU KUP Pasca BOPN?


Tanggal 20 Oktober 2024 yang bertepatan jatuh pada hari Minggu di minggu ketiga bulan Oktober tinggal menunggu hari saja, akan dilaksanakan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Guna meningkatkan rasio pajak secara bertahap menjadi 23% yang diprogramkan akankah segera dibentuk badan baru perpajakan? Atau ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan?.

Penerimaan pajak sebagai tulang punggung Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang mencapai 80%, apabila dibentuk badan baru sesuai dengan yang tertuang dalam dokumen awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025 bernama Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN), maka menjadi sangat krusial membahas nasib Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasca BOPN.

UU KUP sebagai ketentuan formil peraturan perpajakan memuat banyak kewenangan yang diberikan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) yang tentunya nantinya BOPN akan sejajar kedudukannya dengan Menkeu.

Mengingat besarnya tugas BOPN untuk memikul beban APBN, maka dengan tidak diberlakukannya UU KUP sebagai ketentuan formil perpajakan, dianggap adanya suatu “kegentingan yang memaksa” untuk segera diterbitkannya Perpu KUP?.

Pertama-tama, perlu  dijelaskan terlebih dahulu pengertian Perpu. Kepanjangan Perpu adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Dari pasal tersebut dapat  disimpulkan bahwa Perpu dibuat oleh Presiden. Penetapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 UU 15/2019 yang berbunyi:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Dari bunyi kedua pasal di atas dapat kita ketahui bahwa syarat presiden mengeluarkan Perpu adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dalam artikel berjudul Polemik Penolakan Perpu JPSK yang ditulis Yuli Harsono, dikatakan bahwa subjektivitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, akan dinilai DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak). Jadi, menurut Yuli Harsono, yang menafsirkan suatu kegentingan memaksa itu adalah dari subjektivitas Presiden. Inilah yang menjadi syarat ditetapkannya sebuah Perpu oleh Presiden.

Kedudukan Perpu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip Ibnu Sina Chandranegara dalam artikel berjudul Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009:

Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu) (Asshiddiqie, 2010: 209).

Ukuran objektif penerbitan Perpu baru dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perpu, yaitu (hal. 19):

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011, Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. Yang dimaksud dengan “persidangan berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan. Jadi, pembahasan Perpu di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam agenda sidang DPR setelah Perpu itu ditetapkan untuk mendapat persetujuan atau tidak dari DPR. Perpu dapat ditetapkan menjadi undang-undang ketika DPR menyetujuinya.

Mengenai konsekuensi Perpu yang ditetapkan, Prof. Marida Farida Indrati Soeprapto, dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya mengatakan bahwa Perpu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila Perpu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sedangkan, apabila Perpu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut (hal. 94). Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR-lah yang memiliki kekuasaan legislatif, dan yang secara objektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Meskipun Perpu tersebut belum dibahas oleh DPR, konsekuensi hukum dari Perpu itu sudah ada. Artinya, Perpu tersebut sudah berlaku, bisa dilaksanakan, dan memiliki kedudukan yang setingkat dengan UU sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011.

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa Perpu adalah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan kedudukannya setara dengan undang-undang, namun kemudian harus mendapat persetujuan DPR agar dapat ditetapkan sebagai undang-undang.

Contoh Perpu yang dibuat oleh Presiden dan sudah disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi undang-undang adalah Perpu 1 Tahun 2016 yang sudah ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU 17/2016.

Mengingat ketentuan perundang-undangan perpajakan termasuk rumpun administrasi dimana ancaman pidana-nya hanya sebagai upaya terakhir (Ultimum Remedium), seyogjanya ketentuan pidana perpajakan terpisah dari ketentuan formil-nya.

Benar kata pepatah, tidak ada yang kekal abadi di dunia ini, yang kekal abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Selamat datang perubahan menuju ke arah kesempurnaan sesuai dengan nilai Kementerian Keuangan, meskipun mustahil untuk mencapainya, hanya Tuhan yang maha sempurna. Just do it, lakukan saja apa yang memang harus dilakukan. [jis].

sumber: www.hukumonline.com

Jakarta, 26 September 2024

Joko Ismuhadi Soewarsono*)

*)penulis merupakan seorang akademisi anggota utama Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (Pertapsi), Perkumpulan Ahli Hukum Indonesia (PAHI), praktisi pemeriksa pajak berpengalaman dengan latar belakang pendidikan program diploma keuangan spesialisasi perpajakan dengan pendidikan terakhir sebagai kandidat doktor bidang akuntansi perpajakan dan doktor bidang hukum perpajakan.

Disclaimer: pendapat diatas merupakan pendapat pribadi penulis terlepas dari institusi penulis bekerja.

Berita Terkait

Top