Korupsi Korporasi


Kita semua mengetahui bahwa krisis moneter yang pernah terjadi pada tahun 1998 akibat efek domino banyaknya bank-bank yang dibeku-operasikan akibat kenaikan kurs valuta asing dollar amerika dari Rp1.400 per dollar menjadi sangat tinggi Rp15.000 per dollar. Pada saat itu banyak group bisnis memiliki usaha lembaga keuangan perbankan yang tidak patuh terhadap regulasi batas maksimal pemberian kredit kepada group usahanya, melanggar legal lending limit (3L). Akibat ditutupnya bank-bank mereka ini terjadi “domino effect” yang luar biasa yang berdampak pada ketidak-stabilan kondisi sosial politik masyarakat yang menjadi penyebab runtuhnya rezim orde baru.

Bunyi Pasal 44C ayat (1) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau biasa disingkat UU KUP menyatakan bahwa pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana. Penjelasan pasal ini menyatakan cukup jelas. Bunyi pasal ini mengatur bahwa hukuman primer berupa denda, hukuman subsider nya kurungan.

Setelah diresapi makna yang tersirat dalam pasal ini sejatinya mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (corporate criminal liability) bukan dilakukan oleh orang pribadi. Badan Hukum (rechts persoon) adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Badan hukum atau Korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) misal terbentuk karena undang-undang tentang perseroan terbatas. Korporasi ini tidak memiliki badan atau jiwa seperti halnya manusia sebagai orang pribadi (natuurlijk persoon), karena tidak punya jiwa, perasaan seperti manusia dan tidak bisa dikurung, hanya bisa dimintai denda berupa uang kepada negara.

Ketentuan Pasal 39 dan Pasal 39A bila dicermati mengandung frasa “dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara” yang termasuk dalam pengertian delik korupsi sesuai dengan bunyi UU Tipikor. Hebatnya lagi pasal ini juga memuat delik formil karena memuat kata “dapat”, dengan adanya frasa dan kata tersebut menjadi jelas bahwa tindak pidana perpajakan (tipijak) bisa ditafsirkan sebagai tindak pidana korupsi (tipikor) yang bisa diproses kasusnya tanpa perlu lagi dibuktikan adanya suatu perbuatan-nya (actus reus) karena menganut delik formil yang menitikberatkan pada perbuatan itu sendiri, di mana Undang-Undang melarang perbuatan tersebut. Sebagai contoh, Pasal 362 KUHP tentang Pencurian mengatur bahwa seseorang dapat dipidana karena pencurian, meskipun barang yang hendak dicuri belum sempat diambil (pencurian belum selesai), dimana jika unsur-unsur nya terpenuhi bisa diproses meskipun perbuatannya belum terjadi.

Begitu luar biasa besar mandat kekuasaan otoritas perpajakan yang diberikan oleh rakyat guna optimalkan penerimaan negara, jika kekuasaan ini digunakan.[jis].

Jakarta, 25 September 2024

Joko Ismuhadi Soewarsono*)

*)penulis merupakan seorang akademisi anggota utama Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (Pertapsi), Perkumpulan Ahli Hukum Indonesia (PAHI), praktisi pemeriksa pajak berpengalaman dengan latar belakang pendidikan program diploma keuangan spesialisasi perpajakan dengan pendidikan terakhir sebagai kandidat doktor bidang akuntansi perpajakan dan doktor bidang hukum perpajakan.

Disclaimer: pendapat diatas merupakan pendapat pribadi penulis terlepas dari institusi penulis bekerja.

Berita Terkait

Top