Laporan Analisis Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai Reformasi Perpajakan di Indonesia

Jakarta, taxjysticenews.com:
I. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN)
Indonesia saat ini menghadapi tantangan signifikan dalam optimalisasi penerimaan negara, sebuah isu yang mendasari urgensi reformasi fiskal. Rasio pajak Indonesia pada tahun 2021 tercatat hanya sekitar 10,9%, angka yang jauh di bawah rata-rata negara-negara di Asia Pasifik (19,8%) dan negara-negara anggota OECD (23,2%). Kesenjangan ini bukan sekadar statistik; ini menyoroti kelemahan struktural fundamental dalam kapasitas fiskal Indonesia. Rasio pajak yang rendah secara langsung membatasi ruang fiskal pemerintah, yang pada gilirannya menghambat kemampuan negara untuk mendanai layanan publik esensial, pembangunan infrastruktur, dan prioritas nasional lainnya yang tercantum dalam APBN. Oleh karena itu, pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) dipandang sebagai suatu keharusan strategis untuk membuka potensi ekonomi yang terpendam dengan secara signifikan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengumpulan pendapatan. Perbandingan dengan tolok ukur internasional memperkuat persepsi kinerja sistem saat ini yang kurang optimal dan menyoroti kebutuhan mendesak akan perubahan transformatif.
Struktur pengelolaan penerimaan negara yang saat ini tersebar di berbagai entitas di bawah Kementerian Keuangan menimbulkan fragmentasi kebijakan dan data, serta berpotensi menyebabkan inefisiensi dan kebocoran penerimaan. Kondisi ini menjadi pendorong utama bagi inisiatif reformasi kelembagaan. Sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak ini, pembentukan BPN telah diangkat sebagai agenda kebijakan prioritas nasional. Hal ini secara eksplisit tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, yang secara resmi ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 dan mulai berlaku sejak 10 Februari 2025.
Tujuan fundamental dari pembentukan BPN adalah mereformasi sistem pengumpulan penerimaan negara secara menyeluruh. RPJMN 2025-2029 menetapkan target ambisius untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 23% pada akhir tahun 2029. Target ini mencakup integrasi penerimaan dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai nuansa dari target 23% penerimaan negara, RPJMN juga menetapkan target spesifik untuk rasio pajak dalam kisaran 11,49% hingga 15,01% pada tahun 2029, mengindikasikan pendekatan bertahap dalam pencapaian fiskal.
BPN diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses penerimaan, memperkuat akuntabilitas dan transparansi, mengintegrasikan data lintas sektor, serta menciptakan konsistensi dalam kebijakan fiskal. Selain itu, pembentukan BPN bertujuan untuk menyederhanakan proses pelaporan dan pembayaran bagi wajib pajak, memperkuat pengawasan dan penegakan hukum fiskal, serta meningkatkan kualitas layanan kepada wajib pajak secara keseluruhan.
Pembentukan BPN dipandang sebagai “enabler” atau fasilitator kunci untuk mengoptimalkan pendapatan negara, sehingga menyediakan ruang fiskal yang vital untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan berkontribusi secara signifikan dalam mewujudkan visi jangka panjang Indonesia Emas 2045. Dengan pengelolaan penerimaan yang lebih terpusat dan efisien, peningkatan pendapatan negara diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang untuk APBN, sekaligus berkontribusi pada stabilitas keuangan negara. Peningkatan kepatuhan wajib pajak, yang didorong melalui edukasi, sosialisasi, dan pelayanan yang lebih baik, menjadi salah satu manfaat langsung yang diharapkan dari BPN. Pemanfaatan teknologi informasi yang canggih dalam pengelolaan penerimaan negara diantisipasi akan meningkatkan akurasi data, efisiensi operasional, dan meminimalkan potensi kesalahan manusia.
Pembentukan BPN merupakan upaya transformasi fiskal yang holistik, melampaui sekadar pengumpulan pajak. Permasalahan inti yang diidentifikasi adalah fragmentasi kebijakan dan data di berbagai badan pengumpul pendapatan. Oleh karena itu, tujuan BPN untuk mengintegrasikan data lintas sektor dan mensentralisasi administrasi penerimaan negara bertujuan untuk mengatasi fragmentasi sistemik ini di seluruh aliran pendapatan. Implikasi yang lebih luas adalah pergeseran menuju sistem manajemen fiskal terpadu yang dapat menghasilkan kebijakan fiskal yang lebih konsisten, mengurangi kebocoran, dan pada akhirnya, alokasi sumber daya yang lebih baik untuk pembangunan nasional.
Target BPN memiliki sifat ganda: aspiratif dan realistis. Laporan ini menyoroti target ambisius 23% untuk rasio penerimaan negara terhadap PDB pada tahun 2029. Namun, terdapat juga target rasio pajak yang lebih spesifik dan lebih rendah, yaitu 11,49% hingga 15,01% untuk periode yang sama. Perbedaan ini menunjukkan adanya pemisahan strategis: angka 23% kemungkinan mewakili total penerimaan negara (termasuk PNBP, dll.), berfungsi sebagai tujuan politik dan aspiratif tingkat tinggi. Sementara itu, target rasio pajak yang lebih rendah mungkin merupakan target operasional yang lebih realistis khusus untuk penerimaan pajak. Dilihat dari perspektif ini, pemerintah menetapkan target fiskal keseluruhan yang sangat ambisius, namun menyadari tantangan inheren dalam mencapai peningkatan drastis tersebut hanya dari pajak, sehingga mengandalkan aliran pendapatan lain dan pendekatan bertahap. Dualitas ini memerlukan komunikasi yang cermat untuk mengelola ekspektasi publik dan menjaga kredibilitas.
II. Tantangan dan Pertimbangan Kritis dalam Pembentukan BPN
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) di Indonesia, meskipun menjanjikan peningkatan efisiensi fiskal, juga dihadapkan pada sejumlah tantangan dan pertimbangan kritis yang memerlukan perencanaan cermat. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga yang sudah ada, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang saat ini berada di bawah Kementerian Keuangan. Model “Government Department” yang saat ini dianut Indonesia, di mana unit-unit penerimaan berada langsung di bawah kementerian, memiliki otonomi manajerial dan strategis yang terbatas. Oleh karena itu, perubahan ini memerlukan restrukturisasi birokrasi yang signifikan. Terdapat kekhawatiran mengenai resistensi kelembagaan dari dalam institusi pemerintah yang ada, mengingat DJP telah lama berada di bawah naungan Kementerian Keuangan. Pemisahan ini berpotensi mengganggu struktur kekuasaan dan alur kerja yang sudah mapan.
Sebuah risiko yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan bahwa pembentukan BPN hanya akan menjadi “rebranding” atau perubahan nama tanpa disertai reformasi fiskal yang mendasar. Beberapa pihak mengemukakan kekhawatiran ini, menekankan bahwa perbaikan pengumpulan pendapatan dapat dicapai dalam struktur Kementerian Keuangan yang ada tanpa perlu adanya badan terpisah. Jika restrukturisasi kelembagaan tidak diiringi dengan reformasi mendalam dalam proses bisnis, budaya organisasi, dan kapabilitas teknologi, tujuan yang diinginkan kemungkinan besar tidak akan tercapai. Hubungan sebab-akibatnya jelas: perubahan superfisial tanpa reformasi substantif akan menghasilkan dampak yang terbatas dan berpotensi mengikis kepercayaan publik. Oleh karena itu, keberhasilan BPN sangat bergantung tidak hanya pada pembentukan legalnya, tetapi pada transformasi mendalam yang mengatasi akar permasalahan inefisiensi dan kepatuhan yang rendah, memastikan bahwa struktur baru benar-benar memfasilitasi perbaikan operasional dan kebijakan yang signifikan.
Hambatan kelembagaan lainnya mencakup kebutuhan akan transformasi birokrasi yang masif. Pembentukan BPN memerlukan pengembangan dan implementasi infrastruktur teknologi informasi (TI) canggih seperti Core Tax Administration System (CTAS) dan memastikan keamanan data yang kuat. Keberhasilan BPN sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan yang kuat, perumusan kebijakan yang matang, serta dukungan luas dari lembaga pemerintah dan masyarakat.
Isu koordinasi lintas sektor dan integrasi data juga menjadi tantangan besar. Mengoordinasikan kegiatan dan mengintegrasikan sistem dari berbagai badan yang akan menjadi bagian dari BPN akan menghadirkan kendala logistik dan operasional yang kompleks. Integrasi data lintas sektor adalah kunci untuk mengatasi fragmentasi yang ada. BPN diharapkan dapat melakukan sentralisasi administrasi penerimaan negara untuk memudahkan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban. Pemanfaatan teknologi informasi harus dirancang untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan undang-undang perpajakan dan PNBP, bahkan dengan visi menuju model “bayar saja, tidak wajib lapor”.
Dalam konteks otonomi kelembagaan, laporan ini mengidentifikasi adanya hubungan timbal balik antara otonomi BPN dan kontrol kebijakan fiskal. Sebuah lembaga penerimaan negara semi-otonom (SARA) harus memiliki otonomi dalam mengadministrasikan pemungutan pajak, namun kebijakan fiskal harus tetap berada di tangan Menteri Keuangan. Ini merupakan pemisahan yang krusial yang menunjukkan potensi titik ketegangan dalam desain BPN. Meskipun BPN bertujuan untuk efisiensi operasional yang lebih besar dalam pengumpulan pendapatan, otonominya harus dibatasi dengan hati-hati untuk menghindari melemahkan peran Kementerian Keuangan dalam merumuskan dan mengendalikan kebijakan fiskal nasional secara keseluruhan. Implikasinya adalah bahwa kerangka hukum untuk BPN harus secara tepat mendefinisikan batas-batas kemandirian administratifnya versus otoritas pembuatan kebijakan Kementerian Keuangan. Kejelasan ini sangat penting untuk mencegah fragmentasi kebijakan atau konflik, memastikan bahwa upaya pengumpulan pajak selaras dengan tujuan ekonomi yang lebih luas, termasuk menarik investasi.
Visi ke depan BPN juga mencakup peluang dan tantangan terkait “Big Data”. Pernyataan bahwa “Desain teknologi informasi penerimaan negara ke depan harus memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional sekaligus pemerintah memiliki big data untuk mengambil kebijakan ekonomi yang tepat” mengisyaratkan implikasi yang lebih luas daripada sekadar efisiensi administratif. BPN, dengan mandatnya untuk integrasi data lintas sektor dan implementasi sistem TI canggih seperti CTAS, berpotensi menjadi repositori pusat untuk volume data fiskal yang sangat besar. “Big data” ini dapat dimanfaatkan untuk analisis ekonomi yang lebih canggih dan pembuatan kebijakan berbasis bukti, yang mengarah pada intervensi ekonomi yang lebih terarah dan efektif. Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan signifikan terkait privasi data, keamanan, serta kapasitas teknis dan sumber daya manusia yang diperlukan untuk secara efektif mengelola, menganalisis, dan memanfaatkan kumpulan data yang luas tersebut. Oleh karena itu, keberhasilan BPN akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk mengubah data mentah menjadi informasi yang dapat ditindaklanjuti secara bertanggung jawab.
III. Landasan Hukum dan Kerangka Regulasi BPN
Penyusunan naskah akademik adalah langkah krusial yang harus mencakup analisis komprehensif mengenai urgensi, tujuan, struktur organisasi, tata kelola, dan dampak pembentukan BPN terhadap sistem perpajakan nasional. Naskah akademik berfungsi sebagai landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis, serta pedoman dan arahan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Ini memastikan bahwa pembentukan BPN memiliki dasar yang kuat dan terukur. Kajian ini juga perlu mengidentifikasi kebutuhan regulasi baru atau perubahan regulasi yang sudah ada. Contoh naskah akademik untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menunjukkan cakupan yang mendalam, termasuk latar belakang, identifikasi masalah, dan kajian praktik penyelenggaraan.
Penekanan pada “peran krusial naskah akademik” menunjukkan bahwa dokumen ini jauh lebih dari sekadar persyaratan prosedural; ia berfungsi sebagai tulang punggung intelektual dan hukum untuk keseluruhan reformasi. Naskah akademik yang disusun dengan cermat untuk BPN tidak hanya akan memberikan justifikasi yang kuat untuk pembentukannya, tetapi juga secara proaktif mengatasi potensi tantangan hukum, tumpang tindih kelembagaan, dan hambatan implementasi dengan menawarkan peta jalan yang koheren dan berbasis bukti. Kualitas dan kedalaman dokumen dasar ini akan secara langsung memengaruhi legitimasi, penerimaan, dan efektivitas akhir dari instrumen hukum selanjutnya serta BPN itu sendiri.
Untuk mendukung pembentukan BPN, diperlukan Undang-Undang Perpajakan pengganti Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Meterai. Hal ini esensial untuk menyelaraskan seluruh ketentuan perpajakan dengan kerangka kerja BPN yang baru, termasuk aspek administrasi, hak dan kewajiban wajib pajak, serta sanksi perpajakan. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang ada saat ini, seperti UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), telah melakukan reformasi signifikan pada PPh, PPN, KUP, dan memperkenalkan Pajak Karbon. Perubahan ini menunjukkan kompleksitas regulasi yang harus diintegrasikan atau diganti oleh BPN. UU Bea Meterai (UU No. 10 Tahun 2020) dan hubungannya dengan UU KUP juga menunjukkan interkoneksi antar UU perpajakan yang perlu diselaraskan dalam kerangka BPN yang baru.
Gagasan untuk menciptakan Omnibus Law perpajakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan alasan “kegentingan yang memaksa” adalah pendekatan yang menarik untuk mempercepat proses legislasi. Pertimbangan ini didasarkan pada fakta bahwa perpajakan adalah penyumbang terbesar APBN, sehingga perbaikan sistem perpajakan memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas fiskal negara. Pemerintah telah memiliki pengalaman menggunakan Omnibus Law (misalnya, UU Cipta Kerja) yang mencakup klaster perpajakan dan harmonisasi berbagai UU, menunjukkan preseden untuk pendekatan ini.
Penggunaan Omnibus Law sebagai strategi reformasi pajak dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Proposal untuk menggunakan Omnibus Law melalui Perppu untuk mempercepat proses legislasi adalah strategi yang bertujuan untuk efisiensi, sebagaimana dibuktikan oleh penggunaan sebelumnya dalam klaster pajak. Hal ini jelas menawarkan keuntungan dalam menyederhanakan proses legislasi untuk reformasi yang luas. Namun, terdapat peringatan keras mengenai kriteria konstitusional untuk Perppu (“kegentingan yang memaksa”) dan potensi “dampak-dampak yang dapat merugikan warga negara” jika kriteria ini tidak dipenuhi secara ketat. Ini menunjukkan hubungan sebab-akibat yang kritis: meskipun kecepatan legislasi dapat diperoleh, hal itu datang dengan risiko hukum dan politik yang signifikan jika legitimasi konstitusional dan kepercayaan publik dikompromikan. Oleh karena itu, meskipun pendekatan Omnibus Law menarik karena efisiensinya, penerapannya untuk BPN harus dibenarkan secara konstitusional dengan cermat untuk menghindari melemahkan supremasi hukum dan menghadapi potensi tantangan hukum yang dapat menggagalkan seluruh reformasi.
Namun, perlu diingat bahwa penggunaan Perppu harus memenuhi kriteria “kegentingan yang memaksa” sesuai dengan konstitusi (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945). Kajian hukum yang mendalam diperlukan untuk memastikan dasar hukum penggunaan Perppu dapat dipertanggungjawabkan. Penerbitan Perppu tanpa memenuhi kriteria konstitusional dapat berisiko merugikan warga negara dan merusak pemahaman atas tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi. Contoh Perppu 1/2020 terkait penanganan COVID-19 memberikan konteks mengenai jenis “kegentingan yang memaksa” yang pernah digunakan.
Tantangan lain yang muncul adalah harmonisasi reformasi perpajakan yang sudah ada dan berlapis. Berbagai sumber menunjukkan bahwa Indonesia telah menjalani reformasi pajak yang signifikan dan baru-baru ini, terutama melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa kerangka hukum untuk BPN tidak akan dibangun di atas lahan yang bersih, melainkan harus berintegrasi dengan, atau berpotensi menggantikan, reformasi yang ada dan relatif baru ini. Implikasinya adalah bahwa tugas menyusun undang-undang pajak baru untuk BPN jauh lebih kompleks daripada sekadar mengganti undang-undang yang sudah usang; ini memerlukan pemahaman mendalam tentang maksud, dampak, dan saling ketergantungan dari reformasi sebelumnya untuk memastikan kesinambungan, menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan, dan benar-benar mencapai sistem yang lebih efisien dan efektif. Pelapisan reformasi ini menghadirkan tantangan signifikan dalam menjaga koherensi hukum, mencegah kelelahan legislatif, dan memastikan transisi yang mulus bagi wajib pajak dan administrator.
IV. Pemanfaatan Teknologi dalam Administrasi Perpajakan
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) akan didukung oleh sistem administrasi perpajakan yang canggih, dengan Core Tax Administration System (CTAS) sebagai tulang punggungnya. CTAS adalah platform digital terpusat yang dirancang untuk memodernisasi administrasi pajak dengan menggantikan prosedur manual yang sudah usang. Sistem ini menyederhanakan operasi pajak esensial seperti pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pemrosesan pembayaran, pelacakan kepatuhan, dan audit, memastikan proses yang lebih efisien bagi semua pihak. Implementasi CTAS diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan wajib pajak melalui fitur-fitur seperti pelaporan dan pembayaran pajak online, database wajib pajak real-time, dan pemeriksaan kepatuhan otomatis.
Untuk meningkatkan efektivitas CTAS, integrasi dengan konsep-konsep inovatif seperti Tax Accounting Equation (TAE) dan Self-Assessment Monitoring System (SAMS) menjadi krusial. TAE, yang dikembangkan oleh seorang spesialis pajak Indonesia, Dr. Joko Ismuhadi, adalah model matematika inovatif yang dirancang khusus untuk analisis laporan keuangan dari perspektif pajak. Tujuan utamanya adalah deteksi dini potensi penghindaran pajak dan/atau penggelapan, khususnya dalam konteks Indonesia. Dengan mengintegrasikan kemampuan akuntansi forensik TAE ke dalam kerangka SAMS, organisasi dapat membangun mekanisme internal berbasis data untuk mengidentifikasi potensi risiko pajak dan memastikan akurasi data keuangan mereka.
SAMS sendiri merupakan sistem yang memberdayakan organisasi untuk meningkatkan kesadaran diri mengenai kewajiban pajak mereka, mendorong akuntabilitas di seluruh tim keuangan dan akuntansi, serta secara proaktif mendeteksi potensi masalah sebelum meningkat. Dalam sistem self-assessment yang dianut Indonesia, kepatuhan wajib pajak sangat penting, dan SAMS dapat membantu dalam hal ini.
Integrasi TAE dengan SAMS ke dalam CTAS akan menciptakan sistem yang secara otomatis dapat menyalakan “red flag” bagi Wajib Pajak yang terdeteksi tidak patuh. Ketika ketidakpatuhan terdeteksi, sistem dapat secara otomatis memicu penerbitan Surat Himbauan Menyetor Pajak pada Tax Deposit. Mekanisme ini bertujuan untuk menjaga integritas Kepatuhan Pajak (Tax Compliance) dengan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk memperbaiki ketidakpatuhan mereka dan menyetor pajak yang terutang sebelum dilakukan proses Penegakan Hukum (Law-enforcement). Pendekatan ini sejalan dengan visi untuk menyederhanakan kewajiban wajib pajak, bahkan menuju model di mana masyarakat diwajibkan hanya membayar pajak dan/atau PNBP tanpa wajib lapor, dan tidak dikenakan penalti jika terlambat melaporkan karena itu adalah kebaikan masyarakat.
Pemanfaatan teknologi ini diharapkan dapat mengurangi kesalahan manusia, mempercepat proses administrasi, dan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan undang-undang perpajakan dan PNBP. Selain itu, sistem ini akan memungkinkan pemerintah memiliki “big data” untuk mengambil kebijakan ekonomi yang tepat.
V. Strategi Implementasi dan Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Pembentukan tim khusus yang terdiri dari ahli hukum, ekonomi, perpajakan, dan administrasi negara adalah langkah strategis yang krusial untuk menyusun naskah akademik dan merumuskan draf regulasi. Keberhasilan BPN sangat bergantung pada perumusan kebijakan yang matang dan komprehensif. Tim ini harus mampu mengintegrasikan berbagai perspektif disipliner untuk menciptakan kerangka kerja yang solid. Penunjukan Dr. Drs. Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara pada 22 Oktober 2024 menggarisbawahi komitmen pemerintah untuk mendapatkan bimbingan ahli dalam proses implementasi ini.
Dialog intensif dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kementerian/lembaga terkait, serta pemangku kepentingan lainnya sangat penting untuk membangun konsensus dan dukungan politik yang diperlukan. Partisipasi masyarakat secara luas, termasuk akademisi, praktisi, pelaku usaha, dan masyarakat umum, adalah esensial untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan tepat sasaran dan mendapatkan legitimasi publik. Asosiasi seperti KADIN Pekanbaru menekankan pentingnya sosialisasi yang efektif dan komunikasi dua arah antara pemerintah dan pelaku usaha, bukan hanya melalui surat peringatan atau razia, tetapi dengan dialog, edukasi, dan pembukaan ruang aspirasi untuk UMKM.
Keberhasilan BPN sangat bergantung pada “political will” atau kemauan politik. Sumber-sumber mengutip ekonom terkemuka yang menyatakan bahwa “Banyak negara gagal karena tidak ada political will yang memadai”. Ini adalah pemahaman mendalam tentang hubungan sebab-akibat antara komitmen tingkat tinggi dan keberhasilan reformasi. Bahkan dengan rencana yang paling teliti, tim ahli, dan keterlibatan pemangku kepentingan, ketiadaan kemauan politik yang berkelanjutan dapat menggagalkan seluruh inisiatif. Implikasinya adalah bahwa meskipun persiapan teknis dan administratif untuk BPN sangat penting, dukungan yang berkelanjutan dan tak tergoyahkan dari kepemimpinan politik tertinggi adalah yang paling utama. Komitmen ini sangat penting dalam menavigasi resistensi kelembagaan yang diantisipasi dan mendorong perubahan yang mungkin tidak populer tetapi diperlukan. Target pendapatan 23% yang ambisius semakin menggarisbawahi kebutuhan akan dorongan politik yang luar biasa untuk mencapai tujuan transformatif tersebut.
Mempelajari model badan penerimaan negara di berbagai negara lain yang dianggap berhasil sangat penting untuk mendapatkan praktik terbaik. Model umum yang dapat dipelajari meliputi Government Department (seperti yang dianut Indonesia saat ini, dengan otonomi terbatas) dan Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA), seperti di Kenya dan Tanzania, yang menawarkan otonomi terbatas namun lebih fokus dalam tata kelola. Model Revenue Authority atau Executive Agency, yang populer di beberapa negara maju sejak 1980-an, memberikan otonomi manajemen yang lebih luas dalam menetapkan tujuan, struktur organisasi, anggaran, manajemen SDM, dan penanganan kasus.
Praktik terbaik dalam administrasi perpajakan yang perlu dipertimbangkan mencakup menjaga integritas, memberikan dukungan korespondensi yang jelas, pengarsipan dokumen yang tepat waktu, dan manajemen risiko kepatuhan yang solid. Selain itu, sistem pajak yang baik harus adil, transparan, dan memiliki aturan yang jelas. Keberhasilan departemen pendapatan terbaik juga didasarkan pada sumber daya yang memadai (staf yang berkualitas) dan kepemimpinan yang berkomitmen pada keadilan dan integritas.
Penting untuk melampaui sekadar mengadopsi “praktik terbaik” dan fokus pada “adaptasi kontekstual” dalam studi komparatif. Meskipun pengguna secara eksplisit meminta “Studi Komparatif” untuk belajar dari “praktik terbaik,” sumber-sumber menambahkan nuansa penting: “Indonesia mempertimbangkan dan mengadopsi model-model yang sudah ada dan menambahkan model sesuai dengan kebutuhan pemerintah Indonesia”. Ini menunjukkan bahwa hanya mengimpor “praktik terbaik” tidaklah cukup. Hubungan sebab-akibatnya adalah bahwa model-model yang berhasil seringkali sangat tertanam dalam konteks sosial-politik dan ekonomi unik mereka. Implikasinya adalah bahwa studi komparatif untuk BPN harus fokus pada identifikasi prinsip-prinsip dasar otoritas pendapatan yang berhasil (misalnya, otonomi operasional, integritas, pendekatan berbasis data, layanan yang berpusat pada wajib pajak) dan kemudian secara cermat mengadaptasi prinsip-prinsip ini agar sesuai dengan lanskap kelembagaan, tradisi hukum, budaya birokrasi, dan realitas ekonomi spesifik Indonesia. Pendekatan satu ukuran untuk semua kemungkinan besar tidak akan berhasil.
Sosialisasi kepada publik secara luas sangat penting untuk memastikan transparansi dan mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Hal ini akan memperkuat legitimasi pembentukan BPN dan meminimalkan potensi penolakan. Meskipun ada kritik dan resistensi terhadap pembentukan BPN dari berbagai pihak, dialog dan partisipasi publik yang bermakna dapat membantu mengatasi pandangan yang berbeda dan menyelaraskan ekspektasi, serta membangun dukungan yang diperlukan.
VI. Dampak dan Prospek BPN terhadap Ekosistem Fiskal dan Ekonomi Nasional
Pembentukan BPN diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan bagi wajib pajak dan menyederhanakan proses pelaporan serta pembayaran. Dengan sistem yang lebih efisien dan terpusat, wajib pajak diharapkan akan lebih mudah dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka. BPN juga dapat berfokus pada peningkatan kepatuhan melalui edukasi dan sosialisasi yang lebih efektif. Perlindungan hak wajib pajak adalah perhatian utama dalam desain BPN. Disarankan untuk membentuk organisasi dengan kepemimpinan kolektif (yang mencakup wakil dari asosiasi pengusaha, akademisi, konsultan pajak), lembaga pengawasan independen, kebijakan yang sinkron dan berimbang, serta proses penyelesaian sengketa yang transparan dan berkeadilan untuk menjamin keadilan bagi wajib pajak.
Konsep “bayar, tidak lapor” sebagai pergeseran paradigma dalam kepatuhan wajib pajak merupakan aspek menarik yang perlu dipertimbangkan. Sebuah sumber mengusulkan konsep revolusioner untuk kepatuhan wajib pajak: “Masyarakat diwajibkan hanya membayar pajak dan atau PNBP namun bukan wajib lapor. Apabila masyarakat pun dimintakan memberikan laporan, maka itu kebaikan masyarakat sehingga apabila terlambat melaporkan tidak seharusnya dipenalti”. Ini merupakan pergeseran paradigma yang signifikan dari model kepatuhan saat ini, yang seringkali membebankan beban pelaporan yang berat pada wajib pajak. Hubungan sebab-akibat yang mendasarinya adalah bahwa pengurangan beban administratif secara langsung berkorelasi dengan peningkatan kepatuhan sukarela. Implikasinya adalah bahwa model ini, jika berhasil diimplementasikan, dapat secara drastis menyederhanakan pengalaman wajib pajak, berpotensi meningkatkan tingkat kepatuhan dengan menghilangkan disinsentif terkait pelaporan yang kompleks. Namun, kelayakannya sepenuhnya bergantung pada infrastruktur TI yang sangat kuat, aman, dan akurat (seperti CTAS ) serta integrasi data yang mulus di seluruh lembaga pemerintah yang relevan, memungkinkan otoritas pendapatan untuk mengisi sebelumnya atau secara otomatis menghitung kewajiban pajak. Visi ini membutuhkan lompatan teknologi yang besar dan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap manajemen data pemerintah.
Pajak tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, tetapi juga merupakan instrumen penting untuk menarik investasi. Oleh karena itu, BPN harus memastikan bahwa kebijakan fiskal tetap berada di tangan Menteri Keuangan untuk menjaga daya tarik investasi. Reformasi perpajakan melalui BPN diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif, kompetitif, dan berkelanjutan, sejalan dengan visi asosiasi pengusaha seperti APINDO. Sentralisasi administrasi penerimaan negara oleh BPN diharapkan dapat memudahkan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, termasuk pembayaran PNBP, yang selama ini seringkali membebani secara ekonomi akibat banyaknya kewajiban pelaporan. Meskipun demikian, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai dampak perubahan kebijakan perpajakan secara komprehensif terhadap ekonomi secara keseluruhan untuk mengidentifikasi potensi risiko dan manfaat.
Pentingnya menyeimbangkan maksimalisasi pendapatan dengan iklim investasi dan hak wajib pajak menjadi sorotan. Meskipun mandat inti BPN adalah untuk secara signifikan meningkatkan penerimaan negara, sebuah sumber juga menyoroti bahwa “Pajak itu tidak hanya sumber penerimaan negara, tetapi juga bisa menjadi instrumen untuk menarik investasi”. Ini menciptakan tindakan penyeimbangan yang kritis. Pendekatan pengumpulan pendapatan yang terlalu agresif atau tidak transparan, bahkan jika efisien, dapat menghalangi investasi dan mengasingkan wajib pajak. Implikasinya adalah bahwa strategi operasional BPN harus dirancang agar sangat efektif dalam pengumpulan sambil secara bersamaan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan layanan berkualitas tinggi kepada wajib pajak. Penekanan pada pengawasan independen dan penyelesaian sengketa yang adil sangat penting untuk memastikan bahwa peningkatan pendapatan tidak mengorbankan lingkungan bisnis yang sehat atau mengikis kepercayaan publik. Keseimbangan ini sangat vital untuk kesehatan fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pembentukan BPN merupakan langkah krusial bagi masa depan fiskal Indonesia, dengan potensi transformatif untuk memperkuat kondisi fiskal negara secara signifikan. Target ambisius peningkatan rasio penerimaan negara terhadap PDB menjadi 23% pada tahun 2029 menunjukkan komitmen kuat pemerintah untuk mencapai kemandirian finansial. Keberhasilan implementasi BPN akan sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan kemandirian finansial negara dalam jangka panjang. Peningkatan pendapatan negara yang stabil dan berkelanjutan dapat berkontribusi pada stabilitas keuangan negara, yang merupakan prasyarat penting untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Pembentukan BPN juga dapat memberikan “dividen tata kelola yang baik”. Sebuah sumber menyatakan bahwa pembentukan BPN penting untuk “memisahkan fungsi penerimaan dan fungsi belanja sehingga mencerminkan good governance”. Ini adalah implikasi yang lebih luas dan signifikan di luar sekadar peningkatan fiskal kuantitatif. Dengan memisahkan fungsi pengumpulan pendapatan (saat ini sebagian besar berada di dalam Kementerian Keuangan) dari fungsi pengeluaran, BPN dapat meningkatkan kontrol dan keseimbangan kelembagaan, mengurangi potensi konflik kepentingan, dan meningkatkan akuntabilitas keseluruhan dalam manajemen keuangan publik. Hubungan sebab-akibatnya adalah bahwa pemisahan kelembagaan ini, dengan mendorong tata kelola yang lebih baik, pada gilirannya dapat menghasilkan kepercayaan publik yang lebih besar, yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kepatuhan sukarela dan meningkatkan daya tarik negara untuk investasi. “Dividen tata kelola yang baik” ini adalah manfaat krusial, meskipun kurang terukur secara langsung, yang mendasari keberhasilan dan legitimasi jangka panjang BPN.
VII. Rekomendasi dan Langkah ke Depan
Untuk memastikan implementasi Badan Penerimaan Negara (BPN) yang efektif dan berkelanjutan, beberapa rekomendasi kebijakan strategis dapat dirumuskan:
-
Penguatan Landasan Hukum: Prioritaskan penyelesaian Naskah Akademik yang komprehensif sebagai fondasi yang kokoh. Dokumen ini harus mencakup analisis filosofis, sosiologis, dan yuridis yang mendalam, serta identifikasi masalah dan solusi regulasi secara rinci. Setelah itu, perumusan draf undang-undang pengganti yang secara holistik menyelaraskan seluruh ketentuan perpajakan dengan kerangka BPN yang baru harus segera dilakukan. Pertimbangan cermat terhadap penggunaan Omnibus Law atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) harus dilakukan dengan mematuhi kriteria konstitusional yang ketat, khususnya terkait “kegentingan yang memaksa,” untuk menghindari potensi tantangan hukum dan menjaga legitimasi.
-
Desain Kelembagaan yang Optimal: Adopsi model otoritas penerimaan negara yang semi-otonom (Semi-Autonomous Revenue Authority/SARA) dengan delineasi otonomi yang jelas dalam administrasi. Namun, fungsi kebijakan fiskal strategis harus tetap berada di tangan Menteri Keuangan untuk memastikan konsistensi dengan kebijakan ekonomi makro nasional dan menjaga iklim investasi. Desain kelembagaan ini harus disesuaikan secara cermat dengan konteks politik, teknokrasi, dan tata kelola Indonesia, mengingat bahwa meniru model asing secara membabi buta tanpa adaptasi kontekstual dapat menyebabkan kegagalan.
-
Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Teknologi: Lakukan investasi besar dalam pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, termasuk pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi staf BPN. Seiring dengan itu, pembangunan dan implementasi infrastruktur teknologi informasi (Core Tax Administration System/CTAS) yang canggih, aman, dan terintegrasi adalah mutlak. Sistem ini harus mampu mendukung “big data” untuk analisis ekonomi berbasis bukti, sekaligus memastikan keamanan dan privasi data wajib pajak. Visi untuk mencapai model “bayar, tidak lapor” memerlukan dukungan teknologi yang sangat mumpuni.
-
Keterlibatan Pemangku Kepentingan yang Berkelanjutan: Lakukan dialog intensif dan berkelanjutan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kementerian/lembaga terkait, serta seluruh pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi perpajakan, asosiasi pengusaha (seperti APINDO), dan masyarakat umum. Keterlibatan ini harus bersifat dua arah, tidak hanya sosialisasi, tetapi juga mendengarkan masukan dan aspirasi untuk membangun konsensus, memperkuat legitimasi, dan meminimalkan potensi penolakan.
-
Pengawasan dan Penyelesaian Sengketa yang Kuat: Untuk melindungi hak wajib pajak dan meningkatkan kepercayaan publik, BPN harus dilengkapi dengan mekanisme pengawasan yang independen dan transparan. Pembentukan lembaga penyelesaian sengketa yang adil dan tanpa dominasi otoritas BPN adalah krusial. Struktur kepemimpinan kolektif yang melibatkan perwakilan dari berbagai pemangku kepentingan juga dapat dipertimbangkan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.
-
Implementasi Bertahap dengan Metrik yang Jelas: Mengingat skala dan kompleksitas reformasi ini, implementasi BPN sebaiknya dilakukan secara bertahap dengan menetapkan indikator kinerja utama (IKU) yang jelas dan terukur. Pemantauan dan evaluasi berkala terhadap kemajuan dan dampaknya sangat penting untuk memungkinkan penyesuaian strategi yang adaptif. Target rasio penerimaan negara yang ambisius harus dikomunikasikan dengan nuansa yang tepat, membedakan antara target total penerimaan negara dan target rasio pajak spesifik, untuk mengelola ekspektasi publik secara realistis.
Pembentukan BPN adalah upaya besar yang membutuhkan perencanaan matang, koordinasi lintas sektor yang erat, dan partisipasi publik yang aktif. Dengan pendekatan yang komprehensif dan strategis, BPN berpotensi menjadi pilar penting dalam memperkuat kondisi fiskal Indonesia, mendukung pembangunan nasional, dan mewujudkan kemandirian finansial negara dalam jangka panjang.