Perlukah Revisi UU KUP?


Bunyi rumusan Pasal 38 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang menyatakan bahwa setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar; dan Pasal 39  yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang disebutkan dalam Pasal tersebut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Bunyi rumusan Pasal 2 jo. Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dst. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dst. (Abuse of Power)

Menjadi sangat jelas bahwa baik bunyi rumusan Pasal 38 jo. 39 UU KUP dan Pasal 2 jo. Pasal 3 UU Tipikor mengandung frasa dapat merugikan pendapatan/keuangan negara sebagai delik formil korupsi.

Delik formil adalah perbuatan yang dilarang tanpa mempersoalkan akibat dari tindakan itu, meskipun itu belum nyata merugikan keuangan negara (potensial loss) sudah bisa diproses sebagai delik korupsi, meskipun menurut MK delik korupsi harus sebagai delik materiil yang nyata-nyata merugikan keuangan negara (actual loss).

Kita semua sudah maklum bahwa delik korupsi adalah suatu extra ordinary crimes yang merugikan masyarakat secara keseluruhan, bukan orang perorang. Dengan demikian sangat mustahil apabila delik korupsi ini diselesaikan diluar pengadilan (out of the court) melalui Restorative Justice (RJ).

Pasal 4 UU Tipikor tersebut secara jelas mengatur bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.

Pengembalian kerugian keuangan/pendapatan negara tidak dapat menghapus delik pidananya, meskipun dengan penambahan jumlah hukuman tertentu sebagai bentuk sanksi. Pengembalian kerugian negara hanya sebagai bahan pertimbangan hakim sebagai unsur memperingan putusan hukuman.

Sedangkan bunyi rumusan Pasal 44B UU KUP mengatur tentang kewenangan Menteri Keuangan yang dapat menghentikan proses penyidikan dengan syarat kepentingan negara terlindungi melalui pembayaran hutang pajak beserta dendanya yang kurang dibayar, bahkan sudah sampai proses penuntutan bisa dihentikan.

Penghentian proses penyidikan dan penuntutan Tipijak dengan pertimbangan kepentingan penerimaan negara telah terlindungi merupakan bentuk penyelesaian tindak pidana diluar pengadilan itu secara substansi adalah bentuk RJ. Apalagi Undang-Undang Perpajakan, khususnya Undang-Undang Pajak Penghasilan  (UU PPh) menganut Substance Overform Doctrin yaitu suatu doktrin yang mengutamakan substansinya dibanding bentuk formilnya.

Dengan demikian jelas penghentian Tipijak yang ditafsirkan sebagai Tipikor tidak memungkinkan diselesaikan secara RJ, bukankah Tipikor itu suatu tindak kejahatan extra ordinary crimes, sedangkan yang bisa diselesaikan secara RJ suatu pidana se-level Tindak Pidana yang lebih rendah derajatnya (Tipiring)?.

Jelas bahwa makna bunyi rumusan Pasal 38 jo Pasal 39 UU KUP saling bertentangan dengan bunyi rumusan Pasal 44B UU KUP.

Jakarta, 03 November 2024

Joko Ismuhadi Soewarsono*)

*)penulis merupakan seorang akademisi anggota utama Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (Pertapsi), Perserikatan Ahli Hukum Indonesia (Perkahi), praktisi pemeriksa pajak berpengalaman dengan latar belakang pendidikan program diploma keuangan spesialisasi perpajakan dengan pendidikan terakhir sebagai kandidat doktor bidang akuntansi perpajakan dan doktor bidang hukum perpajakan.

Disclaimer: pendapat diatas merupakan pendapat pribadi penulis terlepas dari institusi penulis bekerja.

Berita Terkait

Top